MAKALAH
ILMU KALAM
QADARIYAH DAN JABARIYAH
OLEH
ABDUSSALAM
SEMESTER
: 1B
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI
PANCOR
TAHUN PELAJARAN 2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karuniaNyalah,
makalah yang berjudul “Qadariyah dan Jabariyah” ini dapat terselesaikan dengan
baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam, pada
semester I tahun ajaran 2013.
Dalam
makalah ini, dijelaskan tentang sejarah berkembangnya aliran qadariyah dan
Jabariyah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dan membahas mengenai tokoh serta
ajaran-ajaran yang dibawa oleh kedua aliran tersebut.
Terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Tentu banyak sekali kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dalam
penyusunan makalah ke depannya.
Penulis,
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul ........................................................................................ i
Daftar
Isi................................................................................................. i
Kata
Pengantar........................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
- Latar
Belakang............................................................................
1
- Rumusan
Masalah....................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN
a. Aliran
Qadariyah ....................................................................... 4
1.
Perkembangan aliran Qadariyah........................................... 4
2.
Tokoh dan ajaran dalam aliran Qadariyah............................ 6
3.
I’tiqad Qadariyah yang Bertentangan dengan
Ahlussunnah
Waljamaah..................................................... 9
b. Aliran
Jabariyah........................................................................... 9
1.
Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan
Aliran
Jabariyah.................................................................... 9
2.
Para Pemuka Jabariyah dan
Doktrin-Doktrinnya................. 12
3.
Qada’ dan Qadar serta makna takdir Allah
menurut
Aliran
Jabariyah.................................................................... 17
c. Perbandingan
Aliran Jabariyah dan Qadariyah........................... 20
d. Pandangan
Ahli Ilmu Kalam terhadap Aliran
Jabariyah
dan Qadariyah............................................................................. 21
BAB
III PENUTUP
a. Kesimpulan.................................................................................. 23
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................. 24
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan
masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima
sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa
yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya
kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi
wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan
budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai
umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya
telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima
secara imānī mulai dipertanyakan dan dianalisa.
Al-Syahrastānī menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.
Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata. Kedua aliran ini masing-masing bersandar kepada ayat-ayat al-Quran. Qadariyah antara lain bersandar pada surat al-Mudatsir ayat 38 yang berbunyi :
Al-Syahrastānī menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.
Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata. Kedua aliran ini masing-masing bersandar kepada ayat-ayat al-Quran. Qadariyah antara lain bersandar pada surat al-Mudatsir ayat 38 yang berbunyi :
كل
نفْس بما كسبتْ رهيْنة
Artinya: “Tiap-tiap
diri bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya”.
Sedangkan Jabariyah bersandar pada surat al-Hadid
ayat 22 yang berbunyi :
ما اصاب منْ مصيْبة فى اْلأرْض ولافى انْفسكمْ إلا فى كتب منْ قبْل أنْ
نَبر أها إنَ د لك على الله يسىيْر
Artinya: “Tidak
ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan didalam
buku sebelum kami wujudkan”.
Dalam sejarah teologi Islam, paham Qadariyah
selanjutnya dianut oleh kaum Mu’tazilah, sedangkan paham Jabariyah terdapat
dalam aliran Asy’ariah.
Para ahli agama dan filosof dalam
berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan
kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya.
Maka dari itu, makalah ini akan membahas
persoalan teologi kedua aliran tersebut, yaitu asal-usul, dasar ajaran dan
perbandingan pemikiran teologi terkait dengan perbuatan Tuhan dan perbuatan
manusia, dengan lebih mengedepankan telaah institutif, dan tidak secara
sosiologis. Makalah ini disusun, agar para pembacanya dapat mengetahui serta
dapat menambah wawasan mereka tentang perkembangan dan perbedaan dari
aliran-aliran yang bermunculan diantaranya aliran qadariyah dan jabariyah,
serta mengetahui pendapat para ahli tentang kedua aliran tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
latar belakang dan sejarah perkembangan aliran Qadariyah dan Jabariyah?
2. Bagaimana
pendapat para ahli tentang aliran qadariyah dan jabariyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
QADARIYAH
1. Latar
Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari
bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara
terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free
will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan
kemauan dan tenaganya.
Aliran
ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya,
ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk
nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Harun
Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya,
sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar
menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun sebutan tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa
manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon
Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka
dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah .
Hadits tersebut berbunyi: الاْءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ آلْقَدَرِيّةُ artinya:
“Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.
Tentang kapan munculnya faham Qadariyah dalam Islam, tidak dapat diketahui secara pasti, tapi diperkirakan muncul tahun 70 H. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa faham qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan. W. Montgomery Watt berpendapat bahwa berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa Jerman, menyebutkan bahwa faham qadariyah ditemukan dalam kitab Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk bagi dirinya.
Tentang kapan munculnya faham Qadariyah dalam Islam, tidak dapat diketahui secara pasti, tapi diperkirakan muncul tahun 70 H. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa faham qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan. W. Montgomery Watt berpendapat bahwa berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa Jerman, menyebutkan bahwa faham qadariyah ditemukan dalam kitab Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk bagi dirinya.
Berkaitan
dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada banyak kesulitan untuk
menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini
karena penganut qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak
dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Sebagian
lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus, diduga disebabkan oleh
pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana
khalifah. Faham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada
beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti
pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya
dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba
sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak
mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya.
Sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya
karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah,
karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah. Pemerintah
menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan
daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan
mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari
tahta kerajaan. Aliran
Qadariyah berpaham: Serba Ikhtiar.
Aliran ini berpendirian bahwa manusia itu bebas dan berkuasa dalam melakukan
segala macam perbuatannya.
2. Tokoh
dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan
faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan
Al-Dimasyqy.
1. Ma’bad
Al-Jauhani
Menurut
Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam
Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya,
tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu
ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as.
Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan
bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada
Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya.
2. Ghailan
Ibnu Muslim Al-Damasyqy
Sepeninggal
Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan.
Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan
adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris
Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian
faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia
kembali lagi dengan mazhabnya . Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd
al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara
Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution, nama qadariyah adalah
sebutan bagi kaum yang mengingkari qadar, yang mendustakan bahwa segala sesuatu
sudah ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Dalam
ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat
menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan
kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya
sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.
Penjelasan
yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh
‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah
menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa
yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada
manusia, namun Ia tidak memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia,
sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi.
Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia
pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia
berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta
berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu
jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi
siksaan di neraka, maka semua itu adalah atas pilihannya sendiri.
Selanjutnya,
terlepas apakah faham qadariyah itu dipengaruhi oleh faham dari luar atau
tidak, yang jelas di dalam Al-Quran dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan
faham qadariyah sebagaimana disebutkan diatas , diantaranya adalah:
Dalam
surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:
إن الله لايغير ما بقوْ م حتَى يغيروْاما بأ نْفسهمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang
ada pada diri mereka sendiri”.
Dalam
surat Fushshilat ayat 40, Allah berfirman:
اعْملْواما شئْتمْ إنَه بما تعملوْن بصيْر
“Perbuatlah
apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam
surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:
وقل اْلحق منْ رَبكم فمنْ شاء
فليؤْمنْ ومنْ شاء فلْيكْفرْ
“Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir”.
Dalam
surat an-nisa’ ayat 111, Allah berfirman:
ومنْ يكسبْ إ ثْما فإنَمايكسبه على نفْسه وكا ن الله عليْما حكيْما
“Barangsiapa
yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan)
dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dengan
demikian faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah
beralasan jika ada sebagian orang menilai faham ini sesat atau keluar dari
Islam.
3.
I’tiqad Qadariyah yang Bertentangan dengan
Ahlussunnah Waljamaah
Adapun
doktrin yang dikembangkan oleh kaum qadariyah ini diantaranya:
a) Manusia mempunyai daya dan kekuatan
untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan
buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan
melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
b) Takdir merupakan ketentuan Allah SWT
terhadap alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an
disebut sunnatullah.
c) Secara alamiah manusia mempunyai
takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap
untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan
daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi
atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.
B.
JABARIYAH
1. Latar
Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah
Secara
bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa.
Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata
jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Sedangkan secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah
manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat
Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah maha memaksa. Ungkapan
Al-Insan Majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau
terpaksa. Kemudian kata Jabariyah juga ada berasal dari bahasa Arab, yaitu jabr
yang artinya “keharusan” , istilah ini ditujukan kepada pengikut aliran
Jabariyyah diantara teoritikus muslim masa awal yang mempertahankan
determinisme sebagai lawan dari paham free will (kemauan bebas). Selanjutnya,
kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan
menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut
Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya kepada Allah. Dengan
kata lain, manusia mengajarkan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam
bahasa inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham
yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah di tentukan dari semula oleh
qadha dan qadar Tuhan.
Menurut
Harun Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan
manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa
setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia,
namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang
mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
Adapun
mengenai latar belakang lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang
jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa
bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pendapat
lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam
datang ke masyarakat Arab. Para ahli sejarah mengkajinya melalui pendekatan geokurtural bangsa Arab. Di antara ahli
yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia mengembangkan bahwa kehidupan
bangsa Arab yang diliputi oleh Gurun Pasir Sahara telah memberikan pengaruh
besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari
dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak dapat
memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang
tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi
panasnya musim serta keringnya udara.
Harun
Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka
menganut faham fanatisme. Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin
Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah
teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah
dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu
menemaninya dalam gerakan melawan Bani Umayah. Namun, dalam perkembangannya, paham Al-Jabar juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya
Al-Husain bin Muhammad, An-Najjar
dan Ja’d bin Dirrar. Sebenarnya benih-benih faham jabariyah
juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah diantaranya:
a. Suatu
ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah
Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi
pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar
memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika
Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan
pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu
terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.
Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah
paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala
dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi
orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya
bibit pengaruh faham jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran
Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabariyah
muncul karena ada pengaruh dari pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab
qurra dan dar agama Kristen bermazhab yacobit.
Paparan
diatas menjelaskan bahwa, bibit faham jabariyah telah muncul sejak awal periode
Islam. Namun, jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut,
dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani
Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas. Aliran jabariyah berpaham: Serba Takdir. Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu tidak ada
kebebasan untuk menentukan perbuatannya, dangan alasan bahwa Tuhanlah yang
menjadikan manusia dan segala perbuatannya.
2. Para
Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, bahwa yang pertama kali memperkenalkan faham
jabariyah adalah Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan.
1. Al-Ja’d
bin Dirham
Ja’d
adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam
lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya
untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak
pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudia Al-Ja’d
lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm untuk dikembangkan dan
disebarluaskan.
Ajaran
pokok Ja’d bin Dirham secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby
menjelaskannya sebagai berikut:
a) Al-Qur’an
itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak
dapat disifatkan Allah
b) Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat,
mendengar
c) Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
2. Jahm
Ibnu Shafwan
Nama
lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib,
juga seorang tabi’in berasal dari Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah,
ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris
Harits bin Surais seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di
Khurasan. Ia ditawan dalam pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia
dibunuh karena masalah politik dan tidak ada kaiatannya dengan agama.
Jabariyah
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrim dan moderat. Di antara
ajaran jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia
bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi
perbuatannya yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri,
perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul
karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.
Sebagai
penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang
tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapatnya mengenai
persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a. Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b. Surga
dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c. Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya dengan
konsep Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
d. Kalam
Tuhan adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan
manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat
dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Berbeda
dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik.
Tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud
dengan kasab.
Menurut
faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang
yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Yang termasuk tokoh
jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
1) An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1. Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab.
2. Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia
dapat melihat Tuhan
2) Adh-Dhirar
Dhirar
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera ke enam. Ia juga
berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah Ijtihad.
Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
3) Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut
Jahm bin Sofwan, salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan
aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah
SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan
dengan sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan
mengetahui (‘alim), karena penyifatan seperti itu mengandung pengertian
penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak
mungkin terjadi.
Secara umum ciri-ciri (yang juga
merupakan pendapat dan ajaran ) paham Jabariyah adalah :
·
Bahwa
manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik
yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
·
Bahwa
Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
·
Ilmu
Allah bersifat Huduts (baru)
·
Iman
cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
·
Bahwa
Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
·
Bahwa
surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya,
karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
·
Bahwa
Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
· Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan
bukan kalamullah.
Adapun
golongan jabariyah mengatakan bahwa tidak ada ikhtiar bagi manusia, sebab Tuhan
telah lebih dahulu menentukan segala-galanya. Sementara Ahlussunnah menetapkan
usaha dan ikhtiar bagi manusia dan Allah yang menentukan. Jadi, orang akan
mendapat pahala dengan usaha dan ikhtiarnya, juga sebaliknya ia akan mendapat
dosa oleh sebab usaha dan ikhtiarnya. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang
awal lahirnya aliran ini, dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat
yang melatar belakangi lahirnya faham jabariyah di antaranya:
Dalam
surat Ash-Shaffat ayat 96, Allah berfirman:
والله خلقكمْ وما تعملوْن
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Dalam
surat Al-An’am ayat 111, Allah berfirman:
ولوْ انَنا نزلنا اليْهم الْملكة وكلَمهم
الْمو تى وحشرْ نا عليهمْ كلَ شيى قبلا مَا كا نوْا ليؤ منوْاالاَ انْ يَشا ءالله
ولكنَ اكْثرهم يجْهلوْن
“Mereka
tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki”.
Dalam
surat Al-Anfal ayat 17, Allah berfirman:
وما رميْت إدرميْت ولكن الله رمى
“Dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.
Ayat-ayat
diatas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran jabariyah. Mungkin inilah
yang menyebabkan pola pikir jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam
hingga kini walaupun anjurannya telah tiada. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, manusia dalam paham jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat
dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Seluruh tindakan dan perbuatan
manusia tidak boleh lepas dari aturan dan skenario serta kehendak Tuhan.
3. QADA’
dan QADAR serta MAKNA TAKDIR ALLAH menurut Jabariyah
a. Qadha dan Qadar serta Makna Takdir
Allah menurut Jabariyah
Aliran Jabariyah berpendapat
mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini
meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di
dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran
Jabariyah mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang
bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang sangat sederhana bisa
dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot yang
disetir oleh remote kontrol.
b. Perbuatan, Kehendak Manusia dengan
Qudrat Iradat Allah menurut Jabariyah
Para Ulama Pengikut aliran
Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia
merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunyai peran atas
segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia
merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah.
Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar
manusia. Dengan kata lain manusia tidak mempunyai peran apa-apa atas kehendak
dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar Allah, Kalau semua
perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia
harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan. Sebagaimana firman Allah
dalam Al-Quran:
v QS:
4: An-Nisa': 13
ومنْ يطع الله ورسوْله يدخله جنَت تخرى منْ تحْتهاالأ نْهر خلد يْن
فيْها ود لك اْلفوزالعظيْم
Artinya:
"Barangsiapa ta'at kepada Allah dan
Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar".
Allah juga akan memberikan siksa kepada hambaNya yang selalu
berbuat dosa artinya tidak mau ta'at kepada Allah dan rasul-Nya. Yakni tidak
mau meninggalkan semua larangan-Nya dan tidak mau menjalankan semua
perintah-Nya. Sebagaimana firman Allah:
v QS:
4: An-Nisaa':14
ومنْ يعْص الله ورسوْله ويتعد حدوْده يدْخله ناراخلدافيْهاوله عداب مهيْن
Arinya:
"Dan Barangsiapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya
siksa yang menghinakan".
Dilihat dari sisi lain pendapat 'Ulama Jabariyah kurang kuat
karena: Untuk apa pula Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan
peringatan melalui para Rasul-Nya agar manusia dapat mengerti antara haq dan
yang bathil sebagaimana firman Allah:
v QS:18:
Al-Kahfi: 56
وما نرْسل المرْسليْن إلأمبشريْن ومنْدريْن
Artinya:
"Dan tidaklah Kami mengutus
rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan"
Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka
pendapat ulama Jabariyah menjadi lemah. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi
memandang bahwa aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan
tidak memandang keadilan dan kebijaksanaan-Nya; sehingga semua perbuatan yang
dilakukan disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah
menafikan fungsi dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada
pelanggar (durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi
para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama).
Hal ini menurut Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia
dalam keadaan terkekang seperti pendapat aliran Jabariyah, maka tidak mungkin
jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh untuk menjalankan
syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan perintah
dan larangan.
Jabariah sebagai penolakan terhadap pandangan kaum
qadariyah, munculnya kaum Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia
itu baik dan buruk, semuannya berasal dari Allah. Jika perbuatan tersebut
disebut sebagai perbuatan manusia, maka hal ini hanya kiasan saja. Seperti saat
kita menyatakan bahwa sungai itu mengalir, padahal pada hakikatnya Tuhanlah
yang mengalirkannya. Manusia menurut pandangan kaum Jabariyah tak ubahnya
seperti bulu ayam yang bertebangan ditiup angin (karena itulah maka kaum
Jabariyah dan kaum qadariyah dikatakan dua golongan yang satu sama lainnya
saling bertolak belakang.
Berdasarkan keyakinan seperti ini maka kaum Jabariyah
memiliki pandangan yang meniadakan sifat dan nama Allah, sementara Al-kalam
(firman Allah) yang merupakan sifat Allah menurut pendapat mereka adalah hadis
(sesuatu yang baru).
C.
PERBANDINGAN
ALIRAN JABARIYAH dan QADARIYAH
Beberapa
perbedaan mendasar terhadap berbagai permasalahan teologi yang berkembang
diantara kedua aliran ini diantaranya adalah:
1. Jabariyah meyakini bahwa segala
perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak
memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah meyakini bahwa
Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia memiliki
wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.
2. Jabariyah menyatakan bahwa surga dan
neraka tidak kekal, setiap manusia pasti merasakan surga dan neraka, setelah
itu keduanya akan lenyap. Qadariyah menyatakan bahwa manusia yang berbuat baik
akan mendapat surga, sementara yang berbuat jahat akan mendapat ganjaran di
neraka, kedua keputusan itu merupakan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan
manusia berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri.
3. Takdir dalam pandangan kaum
jabariyah memiliki makna bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dan
digariskan Allah SWT, sehingga tidak ada pilihan bagi manusia. Sementara takdir
menurut kaum qadariyah merupakan ketentuan Allah terhadap alam semesta sejak
zaman azali, manusia menyesuaikan terhadap alam semesta melalui upaya dan
pemikirannya yang tercermin dalam kreatifitasnya.
D.
PANDANGAN
AHLI ILMU KALAM terhadap ALIRAN JABARIYAH dan QADARIYAH
Para ahli
ilmu kalam banyak memperdebatkan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama
jabariyah maupun ulama qadariyah. Beberapa argument diberikan untuk menolak
ajaran kedua faham ini.
Jika
manusia tidak memiliki daya dan segala perbuatannya dipaksa oleh Allah, maka
sejauh mana eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi, bagaimana fungsi
berita gembira dan ancaman yang Allah berikan, serta untuk apa Allah
menyediakan ganjaran atas segala perilaku manusia selama hidup.
Keyakinan
bahwa manusia dipaksa (majbur) dalam melakukan segala sesuatu akan membuat
manusia menjadi malas berusaha karena menganggap semuanya merupakan takdir yang
tak dapat diubah, juga dapat menyebabkan manusia tidak memiliki rasa tanggung
jawab terhadap segala sesuatu.
Begitu pun
sebaliknya, jika seluruh perbuatan manusia berada pada tangan manusia itu
sendiri tanpa andil Sang Pencipta, maka seberapa kuat kemampuan manusia untuk
mengelola alam ini sementara kemampuan kita sangat terbatas. Maka di mana letak
batas kreatifitas kita. Dengan keyakinan ini, maka di mana letak keimanan kita
terhadap qadha dan qadar Allah SWT.
Penolakan
terhadap ajaran qadariyah ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya,
pertama, bangsa Arab telah terbiasa dengan pemikiran pasrah terhadap alam yang
keras dan ganas. Kedua, pemerintah yang menganut jabariyah menganggap gerakan
faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis
rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang
dianggap tidak sesuai, bhakan dapat menggulingkan kedudukan mereka di dalam
pemerintahan.
Dengan
semakin berkembang teology, pemikiran ahli ilmu kalam pun semakin berkembang
dan tentu semakin kritis. Hal ini banyak membantu masyarakat awam untuk memilih
ajaran murni yang datang dari Allah SWT dan utusan-Nya. Masyarakat dapat
memperkokoh keimanannya melalui ajaran yang disebarkan oleh para ulama ilmu
kalam modern saat ini. Maka tidak heran bila saat ini banyak terbuka
ketimpangan dan kerancuan dalam berbagai aliran karena kekritisan ulama ilmu
kalam modern saat ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, baik aliran qadariyah maupun
jabariyah nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan sekalipun
mereka sama-sama berpegang pada al-Quran. Qadariyah berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Sedangkan Jabariyah menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah di
tentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Hal ini
memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
dalam Islam.
Namun
pendapat mana yang lebih baik tidaklah bisa dinilai sekarang. Penilaian yang
sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akhirat nanti. Penilaian baik atau
tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan
mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang
berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila ia berlaku di
masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Siradjuddin. 2008. I’tiqad Ahlussunnah
wal Jama’ah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru.
Anwar, Rosihon, dkk. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 1993. Ilmu
Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Rohman, Roli Abdul. 2009. Menjaga Aqidah dan Akhlak. Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar