Daftar Blog Saya

Sabtu, 28 Januari 2017

KHIAR DALAM ISLAM






 A. PENGERTIAN KHIYAR
Kata al-Khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan/memilih. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan para ulama fiqih dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang jual beli atau secara umum dalam kegiatan ekonomi.pembahasan al-khiyar telah dimuatkan dalam beberapa kitab piqih diantaranya kitab kifaayatul akhyar yang menyatakan
والمتبايعان بالخيار مالم يتفرقا ولهماان يشتر طاالخيارالىثلاثةايام
Orang yang berjual beli harus dengan khiyar yakni bebas memilih, selagi belum berpisah dan hendaknya di beri batas tiga hari (untuk memastikan)
Sedangkan dalam kitab bulugul marom dijelaskan pengertian khiyar sbb:
الخيار طلب خيرالامرين من امضاءالبيع اوفسحه
Artinya:khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara dari meneruskan jual beli atau membatalkannya
B.PEMBAGIAN KHIYAR

A.Dalam kitab kifaayatul akhyar pembagian khiyar di bagi menjadi dua yaitu
1. Khiyar Majelis        
Khiyar majelis merupakan kebebasan memilih barang yang akan di beli selama belum berpisah, dengan kata lain penjual berkata kepada pembeli: pilihlah
البيعان با لخيارما لم يتفرقا او يقولو احد همالاخر اختر(رواه الشيخان)
Maksudnya adalah:jual beli itu dengan bebas memilih selagi keduanya belum berpisah atau penjual berkata kepada pembeli: pilihlah.(HR,assaikhoon)
Jadi maksud hadis yang di atas adalah bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya. 

2. khiyar syarat
Khiyar syarat adalah waktu tenggang selama tiga hari untuk meneliti barang yang akan dibeli artinya apabila dalam jangka waktu tiga hari diketahui ada cacatnya maka boleh dikembalikan dan apabila lebih dari tiga hari tidak boleh
Ibnu umar meriwayatkan bahwa ia mendengar seseorang mengadu kepada rosulullah saw, bahwa ia selalu tertipu dalam membeli barang maka nabi bersabda:
اذابايعت فقل:لاخلابة,ثم انت بالخيارفىكل سلعةابتعتها ثلاث ليال(رواه بيهقى وابن ماجه)
Artinya: Apabila kamu berjual beli katakan tidak ada tipuan kemudian kamu khiyar setiap benda yang kamu jual selama tiga hari (minta waktu tiga hari hari untuk mengetahui cacat). HR.Baihaqi
Jadi maksud dari hadis yang di atas adalah apabila hendak melakukan jual beli hendaknya mengatakan tidak ada tipuan atau pembohongan dan memilih barang yang hendak dibeli dan minta tenggang waktu tiga hari untuk mengetahui cacat tidaknya barang yang akan di perjual belikan.
Mengetahui cacat
Apabila seseorang mengetahui barang pembelianya cacat setelah keluar dari tempat jual beli hendaknya barang itu dikembalikan, baik cacat itu sudah ada waktu akad tawar menawar ataupu sesudahnya . kebolehan mengembalikan sebab ada cacat berdasarkan hadis yang yang diriwayatkan oleh saiyidatuna aisyah bahwa seseorang menbeli seorang budak kemudian diketahui ada cacatnya ia mengadukanya kepada rosul saw,kemudian mengembalikanya (HR.Imam Ahmad.Abu Dawud,Tirmidzy)
Cacat itu banyak macemya seperti suka mencuri,pezina,suka sihir,suka menuduh perempuan perempuan baik berbuat sorong, meninggalkan solat,budak perempuan yang masih gadis tidak dating bulan pada waktunya dan lain lain.
Cacat yang ada sesudah barang barang di bawa bukan karena tangan pembeli,seperti dibawa kemudian kena halangan yang mengakibatkan cacat tetaoi cacat yang memang sudah ada dahulunya.


B.Dalam kitab I’aanatuttolibin dan fathul mu’in di jelaskan pembagian khiyar ada tiga yaitu
1.      Khiyar majlis
يسبت جيارمجلس فى كل بيع حتى فى الربوي والسلم وكذا فى هبة ذات ثواب على المعتمد
Maksudnya khiyar majlis adalah hak pilih antara jadi jual beli atau tidak selama berada dalam majlis akad  terdapat pada setiap jual beli walaupun jual beli riba atau salam juga pada akad hibah berimbalan menurut pendapat yang dipegangi
Dan tidak termasuk pada setiap jual beli yang misalnya aqad ibra’(pembebasan tanggungan harta)hibah tak berimbalan,perserikata,qiradl,gadaian,hiwalah,kitabah dan ijarah. Sekalipun masih dalam tanggungan maupun dibatasi pada masa tertentu, untuk akad akad ini tidak ada khiyar karena tidak termasuk jual beli
Khiyar bias habis antara keduanya dengan sebab kedua duanya atau salah satu diantaranya memisahkan diri dari tempat akad sejauh penilaian adat/urf di anggap sebagai pemisah walaupun karena lupa atau belum tahu hukumnya
Contohnya apabila penjual pembeli berada dalam  kamar kecil maka apabila salah satunya keluar dari kamar kecil tersebut itu di anggap berpisah, kalau didalam rumah baru dikatakan berpisah apabila ia berpindah ke bilik lain dan apabila di suatu keramaian atau pasar dikatakan berpisah apabila salah satunya berbalik badan dan berjalan sedikit sekalipun masih mendengar omongan dari salah satunya maka itu dikatan sudah berpisah
Maka khiyar majlis masih tetap ada walaupun diakibatkan dengan meninggalnya penjual atau pembeli dan khiyarnya masih tetap ada dan berpindah ke ahli waris yang bersangkutan.
 Jadi kesimpulan Khiyar majelis menurut kami adalah merupakan hak pilih bagi kedua belah pihak untuk melakukan akad dan untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam satu majelis akad (di suatu ruangan) dan belum berpisah badan. Artinya, transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan, atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.  Khiyar ini hanya terdapat dalam jual beli.



2.khiyar syarat
Khiyar syarat yaitu khiyar yang dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari.
Maksudnya adalah antara penjual dan pembeli diperbolehkan mengikat syarat tetapnya khiyar pada setiap jual beli yang dilakukan kecuali jual beli sesuatu yang kemudian sedianya dimerdekakan misalnya membeli budak yang itu adalah ayahnya  sendir maka disini tidak dibenarkan mempersyaratkan adanya khiyar untuk pembeli karene menyebabkan terjadinya dua hal yang saling mentiadakan atau bertentangan.
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad. Sabda Rasulullah Saw:
اَنْتَ بِاِلْخِيَاِرفِى كُلِّ سَلْعَةٍاِبْتَعْتَهَاثَلاَثٍ لَيَالٍ) رواه البيهقي )
Artinya :“Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” ( Riwayat baihaqi dan Ibnu Majah ).

3. Khiyar Aib
Khiyar aib merupakan suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecatatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad, atau sesuatu yang mengurangi nilai yang dijual.
 Apabila seseorang membeli suatu barang dan ia menemukan cacat padanya, maka boleh memilih (khiyar), bisa jadi ia mengembalikannya dan mengambil harganya, atau menahannya dan mengambil tambalan cacat itu. Maka dinilai barang atau benda yang tanpa cacat, kemudian dinilai yang cacat dan ia mengambil perbedaan di antara keduanya. Dan jika keduanya berbeda pendapat di sisi siapa terjadinya cacat itu seperti pincang (bagi binatang), dan rusaknya makanan, maka ucapan (yang diterima adalah) ucapan penjual diserta sumpahnya, atau keduanya saling mengembalikan.

Cacat yang dimaksud adalah cacat yang sejak semula terjadi bersamaan dengan terjadinya akad atau terjadi sebelum serah terima dan masih ada terus sampai penggagalan akad kalau terjadi setelah serah terima maka tiada hak khiyar bagi pembeli.
Cacat itu misalnya adanya penyakit istihadlah atau bersuami bagi budak perempuan,pezina sekalipun tidak berulang ulang dan telah taubat atau masih suka kencing di tempat tidur sedangkan telah berumur tujuh tahun,bau mulut dan ketiak berbau busuk
Khiar Aib juga di tetapkan untuk pembeli, dengan adanya Taghrir Fi’ly (membuat barang sedemikian rupa sehingga pembeli mudah tertipu.) yang justru haram di lakukan karna membuattidak jelas dan madlarat, misalnya dengan cara Tashriyah yaitu susu binatang tidak di perah selama beberapa lama sebelum di jual agar pembeli mengira bahwa binatang itu banyak air susunya , atau dengan mengeriting rambut budak rambut.
Tidak ada Khiyar Aib lantaran kerugiannya sendiri, misalnya pembeli mengira bahwa kaca itu adalah mutiara ,karna gegabahnya sendiri melakukan sesuatu menurut wahamnya dengan tanpa menyelidiki dahulu.
Khiyar aib walaupun yang karena tashriyah adalah dilaksanakan seketika itu juga maka khiyar menjadi batal sebab menunda pelaksanaanya tanpa ada udzur.Seketika disini diukur menurut penilaian adat maka tidak apa apa diselai dengan solat atau makan yang telah tiba saatnya atau dengan buang air atau diselai dengan ucapan salam pembeli kepada penjual bukan percakapanya dan bila ada cacat diketahui di waktu malam maka pengembalianya boleh dilakukan setelah pagi hari.

C.Dalam kitab anwarulmasalik
a.khiyar aib atau khiyar nakis
khiyar nakis atau khiyar aib adalah disebutkan dalam kitab yang artinya barang siapa yang mengetahui suatu barang ada aib padanya  kemudian dia ingin untuk membelinya maka seharusnya dia melihat barang itu dengan jelas jika tidak seperti itu maka dia tertipu dan jual beli tersebut sah.


Jadi maksud dari pernyataan yang diatas dapat di simpulkan sesuai dengan hadis nabi yang artinya: “sesama muslim itu bersaudara: tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang itu terdapat ‘aib/cacat”. (HR. Ibnu Majah dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir).
Jika pembeli menemukan aib atau cacat pada suatu barang yang ingin dibelinya tersebut sedang berada disisi penjual maka barang tersebut boleh dikembalikan dan diantara beberapa aib suatu barang atau benda yang wajib dikembalikan antara lain barang tersebut berkurang zatnya dan berkurang harganya.























BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Setelah kita membahas mengenai khiyar penyusun dapat simpulkan pembahasannya sebagai berikut :
1.Khiyar artinya “Boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli)”.
2. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.
3. Pembagian khiyar di bagi menjadi tiga :
a. Khiyar majlis artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli
b. Khiyar syarat yaitu khiyar yang dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang
c. khiyar aib artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu atau mengurangi harganya











DAFTAR PUSTAKA

Kitab kifayatul ahyar
Moh.ripa’i, moh.zuhri.1978.terjemah kifayatul akhyar.Semarang:Toha putra semarang
Kitab i’aanatuttolibin
H.Aliy As’ad,1979.terjemah fathul mu’in.Yogyakarta:Menara kudus
Kitab anwarulmasalik

KEDUDUKAN WADI’AH DAN BENTUK APLIKASINYA




A.      Pengertian Wadi’ah(الوديعة)
Syaikh  Ibrahim  Al bajuri  dalam  kitab  Albajuri  ala  Ibn  Qosim jilid 2. menyatakan  bahwa  wadi’ah (titipan) merupakan timbangan kata dari wazan  فعيلة(kata aktif) yang bermakna مفعولة (kata pasif), Jika wadi’ah berasal  dari  kata  ودع  bermakna ترك (meninggalkan), karna  wadi’ah  ditinggalkan  pada  orang  yang  dititipi.
Wadi’ah juga  bermakna  فاعلة  jika berasal dari kata ودع   bermakna سكن (diam,tinggal), sebab wadi’ah diam pada orang yang dititipi. Ada keterangan mengatakan, wadi’ah boleh dianggap pecahan dari kata الدعة  dengan makna الراحة (tenang,aman), dikarenakan wadi’ah aman di bawah penguasaan وديع  (orang yang dititipi).
Di  dalam  kitab  I’anatuththolibin juz 3. dijelaskan bahwa arti  wadi’ah secara etimologi adalah :

ما وضع عند غير ما لكه لحفظه
Wadi’ah  adalah  meletakkan  sesuatu  pada orang lain untuk dijaga. Sedangkan  dalam  kitab  Anwarul Masalik  wadi’ah didefinisikan  dengan makna  yang sama  hanya berbeda redaksi saja yaitu :
المال الموضوع عند الغير ليحفظ
Wadi’ah  adalah  harta yang diletakkan pada orang lain untuk dijaga. Demikian  juga  dalam  kitab  Kifayatul  Akhyar  wadi’ah  secara  etimologi diartikan  sebagai  berikut :

إسم لعين يضعها مالكها أو نائبه عند اخر ليحفظها
Wadi’ah  adalah  barang  yang  di letakkan  oleh pemilik  maupun  wakilnya  pada  orang  lain  untuk  dijaga. Arti  wadi’ah  secara  bahasa juga dijelaskan dalam kitab  Fathul Qorib  dengan redaksi berbeda namun substansinya  sama  yakni :

الشيء المودوع عند غير صاحبه للحفظ
Wadi’ah adalah sesuatu yang ditinggalkan pada orang yang bukan pemiliknya untuk dijaga.
 Sedangkan  wadi’ah  secara   terminologi   berdasarkan  keterangan  yang  ada  dalam   kitab  I’anatuththolibin juz 3 dan Albajuri ala Ibn Qosim jilid 2 dengan redaksi sama dalam kedua kitab tersebut, adalah :

هي العقد المقتضي للإ ستحفا ظ أي الصيغة المقتضية لطلب الحفظ
Wadi’ah  adalah  akad  yang dilakukan untuk tujuan memelihara barang yang diminta untuk dijaga. yakni shigat yang menghendaki adanya permintaan penjagaan terhadap suatu barang.  Dalam  kitab  Anwarul Masalik   diterangkan defenisi  wadi’ah  secara  istilah  sebagai berikut :

الإيداع  شرعا هو التوكيل الخاص في حفظ المال
Wadi’ah  adalah  perwakilan  khusus  dari  pemilik harta kepada orang yang di titipi dalam menjaga hartanya.
Pentahqiq kitab Kifayatul Akhyar fi halli goyatil ikhtishor Syaikh Kamil Muhammad mendefenisikan  wadi’ah secara terminologi dengan  ungkapan :

الوديعة ما يودع – أى يترك – من مال و غيره لدى من يحفظه ليرده إلى مودعه متى تطلبه والوديعة مشروعة با لكتاب و السنة إنشاء الله
 Wadi’ah  adalah  sesuatu  yang  dititp (ditinggalkan) berupa harta atau yang  lainnya  pada orang yang mau menjaganya untuk dikembalikan kepada  pemiliknya  kapanpun  diminta, dan  wadi’ah  di syari’atkan  oleh Al Qur’an dan Al Hadits.
Dari  beberapa  defenisi  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  wadi’ah  merupakan pemberian kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya  atau  barangnya  sebagai  titipan  murni  dari  satu  pihak  ke pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si mudik  (penitip) menghendaki.

B.  LANDASAN HUKUM WADI’AH
Ada dua Landasan  hukum  yang menjadi pondasi utama untuk menopang kokohnya hukum wadi’ah dalam aplikasi sehari-hari sebagaimana di paparkan dalam beberapa kitab diantaranya,  I’anatuththolibin  juz 3, Kifayatul Akhyar, At tadzhib fi adillah matnil goyah wat taqrib,Ghoyatul Bayan syarh Zubad Ibn Ruslan dan  Albajuri ala Ibni Qosim jilid 2, yaitu :
Yang pertama : Al Qur’an
a)      Dalam QS. Al Baqoroh ayat 283.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي أؤتمن أما نته وليتق الله ربه  
Artinya : Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.
b)      Dalam QS. An Nisa’ ayat 58.
Allah Subhanahu Wa  Ta’ala  berfirman :

إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها
Artinya : sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya.
Syaikh Ibrahim Albajuri dalam Albajuri ala Ibn Qosim jilid 2. menerangkan bahwa Dalam ayat ini Allah memerintahkan setiap orang yang  dititipi  amanah  untuk mengembalikan amanah itu kepada pemiliknya (orang yang berhak) kapanpun diminta. Menurut para mufassir ayat ini meskipun turun berkenaan dengan kunci ka’bah namun maknanya umum (menyeluruh), karena  konteks  ayatnya  di ungkapkan  dengan  lafadz umum, tidak dengan  sebab  yang  khusus.
Yang kedua : Al Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

عن أبي هريرة قال النبي صلي الله عليه و سلم أد الأمانة إلي من ائتمنك ولا تخن من خانك
Artinya : tunaikanlah amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangn khianati orang yang telah mengkhianatimu. (H.R. Abu Daud  dan Turmudzi  dari  Abu  Hurairah  dalam  bab buyu’).

C.  RUKUN WADI’AH
Syaikh  sayyid  Abi  Bakar  dalam kitab beliau Ianatuththolibin juz 3 hasyiah  dari  kitab  Fathul Mu’in menerangkan bahwa  rukun  wadi’ah  masuk  dalam  makna  akad. Hal  yang  sama  juga di  paparkan  oleh  Syaikh  Ibrahim Albajuri dalam kitab beliau  Albajuri jilid 2 hasyiah dari kitab Fathul Qorib. bahwa rukun  wadi’ah  dengan  makna  الإيداع (titipan) adalah masuk dalam arti akad.
Hal ini dikarenakan hakikat dari akad wadi’ah  adalah توكيل   (menunjuk wakil)  dari   pihak  مودع   ( si  penitip ) dan  توكل  (menjadi wakil)  dari  pihak  مودع  (yang dititpi),  sebab wadi’ah  adalah  meminta  seseorang  menjadi  wakil  dalam  menjaga harta.
Menurut  penjelasan Para Ulama’ fiqih  dalam beberapa literatur, seperti  dalam  kitab goyatul bayan  syarh matni zubad Ibn Ruslan, Albajuri jilid 2, dan I’anatuththolibin juz 3. Kesemua kitab ini memaparkan bahwa rukun wadi’ah itu ada empat, yaitu :
1.   وديعة  (barng yang dititipkan)
Syarat  wadi’ah  (barang titipan)  adalah  harus berupa harta yang terhormat (bermanfaat), dan dianggap baik oleh syara’.
2.      مودع (orang yang menitip).
Syarat mudik sama  seperti  syarat yang  ada  berlaku  pada موكل dan وكيل yaitu sama-sama pada levelإطلاق التصرف  (mampu atau sah dalam melakukan transaksi), seperti baligh, berakal dan  dewasa.
3.      وديع/مودع (orang yang dititpi).
Syarat dari wadik sama dengan syarat pada mudik diatas. Bahkan  ada keterangan dalam  kitab Anwarul Masalik  menyatakan, wadi’ah tidak sah dilakukan kecuali dari orang yang boleh/sah melakukan transaksi kepada orang yang boleh/sah melakukan transaksi juga. Seandainya ada  anak  kecil atau orang dungu menitip sesuatu pada orang dewasa maka tidak boleh diterima titipan tersebut.
4.       صيغة(Ijab dan Qabul).
Sebagaimana dijelaskan dalam Albajuri jilid 2 syarat dari shigat dalam وديعة sama dengan syarat yang ada dalam الوكالة  yakni pengucapan lafadz dari salah  seorang  pihak  sedang pihak yang lain tidak menolak ucapan pihak pertama.
Dalam  ghoyatul bayan syarh Zubad Ibn Ruslan diterangkan potensi seseorang  untuk  menjaga  titipan  merupakan  hal yang harus diutamakan karna  wadi’ah termasuk  dalam wilayah  tolong  menolong dalam kebaikan dan  berdasarkan  taqwa  kepada apa yang diperintahkan.

D.  HUKUM MENERIMA WADI’AH
Syaikh  Muhammad  Azzuhri Alghamrawi dalam kitab Anwarul Masalik  syarah  dari  kitab  Umdatus  Saalik  Wa  Uddatun Naasik karya Imam syihabuddin Ahmad Ibn Naqib Asy syafi’i, beliau menerangkan tentang setatus hukum wadi’ah berkisar pada lima hukum utama, diantaranya :
Ø Haram
Bagi orang yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerima wadi’ah.
Ø Makruh
Bagi orang yang mampu menjaga, namun tidak percaya kepada dirinya sendiri. Dan dia khawatir berkhianat (tidak bisa bertanggung jawab) di makruhkan baginya menerima wadi’ah.
Ø Sunnah
Jika seorang percaya terhadap dirinya sendiri dan tidak khawatir akan berkhinat dalam menjaga titipan, maka sunnah baginya menerima wadi’ah, meskipun disitu ada orang lain.
Ø  Wajib
Jika di suatu tempat tidak ada orang lain selain dia saja dan mampu untuk menjaga titpan maka wajib menerima wadi’ah.
Hal serupa juga di jelaskan  oleh  Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad Alhusaini Alhishni AdDimasqi Asy-Syafi’i dalam kitab Kifayatul Akhyar fi halli ghoyatil ikhtishor, beliau berkata sudah lumrah bahwa kebutuhan  ataupun kepentingan yang  sangat  mendesak  mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas wadi’ah.
  Orang yang akan diminta untuk menjaga harta/barang harus diteliti dengan jelas, jika dia adalah orang yang amanah dan mampu menjaga titipan serta yakin terhadap dirinya sendiri, sunnah baginya menerima barang titpan itu. Berdasarkan sabda Rasulullah :

و الله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه
Artinya Allah akan menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya. (H.R. Muslim dari Abi Hurairah).
Kemudian Imam Taqiyuddin melanjutkan, Jika seorang tidak mampu menjaga titipan, haram ia menerimanya, demikian menurut komentar Imam Rofi’i dan Imam Nawawi. Sedang Ibnu Rif’ah mengaitkan keharaman orang yang tidak mampu menjaga barang untuk menerima titipan itu dengan kondisi yang tidak diketahui oleh pemilik barang bahwa dia tidak mampu, tapi bila si pemilik harta/barang mengetahui keadaannya  maka  tidak haram baginya untuk menerima titipan dan memang inilah hukum yang sudah jelas.
Di akhir penjelasan  beliau  dalam masalah hukum menerima wadi’ah, beliau mengutarakan satu kasus yaitu, bagaimana dengan orang yang mampu menjaga titipan namun tidak percaya terhadap diri sendiri dengan amanah yang akan diemban apakah dia haram menerimanya? Dalam masalah ini ada dua pendapat: pertama, menerima atau menolak titipan  tidak  ada  yang dikuatkan baik dalam syarah maupun kitab Raudhah. Kedua, secara pasti hukumnya makruh.

E.  KEDUDUKAN WADI’AH DAN BENTUK APLIKASINYA
a.    Kedudukan Wadi’ah
Di jelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid karangan Ibnu Rusyd Al Hafid bahwa para fuqoha’ sepakat  wadi’ah adalah amanah bukan madhmunah (tanggungan). Hal serupa juga termuat dalam kitab Kifayatul Akhyar dan Fathul Qorib dengan redaksi yang sama bahwa wadi’ah itu adalah amanah.
والوديعة أمانة و يستحب قبولها لمن قام بالأمانة فيها
Wadi’ah adalah amanah dan di anjurkan menerimanya bagi orang mampu melaksanakan amanah padanya.
Syaikh Muhammad Ibn Abdirrahman Asy-syafi’i menerangkan  dalam  kitab  beliau  Rahmatul Ummah Fi ikhtilafi A’immah bahwa wadi’ah adalah amanah murni, tidak ada kewajiban dari si wadik untuk menanggung atas wadi’ah kecuali dengan sebab ceroboh. Dan para imam sepakat wadi’ah termasuk ibadah yang di sunnahkan, berpahala dalam menjaganya. Ulama’ malikiyah memberikan komentar, argumen yang membuktikan bahwa  wadi’ah  itu  amanah  adalah Allah hanya memerintah mengembalikan amanah (barang/harta) kepada yang berhak dan tidak memerintah  dengan  harus  ada  saksi (bukti) ketika mengembalikan, demikian menurut keterangan dalam kitab Bidayatul mujtahid karya Ibnu Rusyd.
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, penyusun berkesimpulan  sesungguhnya kedudukan wadi’ah yang ada pada kekuasaan wadik hanya sebatas amanah yang harus dijaga bukan dhomanah yang akan menjadi tanggunggan wadik atas wadi’ah, dan si wadik tidak bisa dikenai pertanggung jawaban atas rusaknya barang titipan kecuali atas dasar kelalaian dan kecerobohan si wadik. Masalah ini akan kami paparkan dalam pembahsan terakhir yakni risiko kerusakan barang titipan.
     
b.   Bentuk Aplikasi Wadi’ah
Aplikasi wadi’ah diterangkan dalam kitab I’anatuththolibin juz 3. sah menitipkan barang muhtarom (barang yang dianggap baik oleh syara’) dengan mengucap هذا أو إستحفظتكه أودعتك  artinya barang ini saya titipkan padamu atau saya minta penjagaan barang ini kepadamu. Sah juga dengan mengucap خذه artinya ambillah barang ini, dibarengi dengan niat menitip. Ditambahkan dalam kitab Albajuri jilid 2 tidak disyaratkan adanya Qobul (ucapan setuju) dari si wadik, tapi cukup dengan mengambil barang titipan menendakan ia setuju.
Terdapat penjelasan dalam kitab anwarul masalik mengenai bentuk aplikasi wadi’ah diantaranya, wadi’ah harus di simpan dalam tempat yang semestinya. Jika si wadik ingin bepergian panjang ataupun khawatir akan meninggal maka wadi’ah harus dikembalikan kepada pemiliknya. Bila tidak menemukan pemilik wadi’ah atau wakilnya, boleh diserahkan kepada hakim (pemerintah setempat). Jika tidak ada Hakim, harus diserahkan   ke Amin (orang yang dipercaya).
Apabila si wadik tidak melakukan hal-hal diatas kemudian meninggal dan tidak pernah mewasiatkannya atau membawanya bepergian jauh lalu rusak maka dia harus menanggung beban wadi’ah tersebut. Atau menyerahkan titipan kepada Amin sedang Hakim ada, tetap si wadik menanggung beban wadi’ah.
Dalam kitab Rahmatul Ummah ditegaskan para ulama’ sepakat kapanpun pemilik wadi’ah meminta barangnya, si wadik wajib mengembalikan wadi’ah dalam keadaan sempurna, kalau tidak maka wajib menanggung beban atas titipan itu.
Sama dengan penjelasan diatas dalam kitab Anwarul Masalik di terangkan, kapanpun pemilik barang/harta meminta titipannya, wajib di kembalikan artinya harus diserahkan dengan segera tidak boleh ditunda.
Kitab Kifayatul Akhyar memuat penjelasan tentang aplikasi terakhir dari aktivitas wadi’ah yaitu,  mengenai pengembalian barang titipan, dalam kitab tersebut di jelaskan ucapan wadik dalam menyerahakn wadi’ah kepada poemiliknya harus diterima. Apabila si wadik mengucapkan kata kepada si mudik dengan lafadz  “ saya kembalikan wadi’ah ini kepada anda“ maka perkataan yang benar adalah perkataan si mudik dengan sumpahnya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah :
فليؤد الذي أؤتمن أمانته
“ Hendaklah orang yang dipercaya menunaikan amanahnya keapada orang yang berhak “. (QS. Al Baqarah 283). Dalm ayat ini Allah memrintahkan si wadik mengembalikan amanah tanpa dibarengi bukti/saksi kepada si mudik, menunujukkan bahwa ucapan si wadik diterima saat penyerahan amanah.

F.   RISIKO KERUSAKAN BARANG TITIPAN (WADI’AH)
Telah diterangkan dalam kitab Kifayatul Akhyar bahwa wadi’ah adalah amanah pada kekuasaan si wadik, tidak ada kewajiban menanggung beban (kerugian) atas wadi’ah bagi si wadik, karna wadi’ah sama hukumnya dengan seluruh amanah yang ada. Memang jika si wadik ceroboh dan berlebihan dalam wadi’ah maka ia dikenakan penanggungan beban atas wadi’ah.
Hal serupa juga di jelaskan dalam kitab Albajuri jilid 2 bahwa wadi’ah adalah amanah dan tidak ada kewajiban menannggung kerugian wadi’ah dari pihak wadik, kecuali atas kecerobohan dan kelalaiannya. Dalam kitab I’anatuththolibin juz 3 dirincikan bentuk kecerobohan dan kelalaian Si Wadik dalam menjaga amanah yang menyebabkan ia menanggung kerugian adalah sebagai berikut :
v  Si Wadik menitipkan wadi’ah kepada orang lain, walaupun kepada  hakim, tanpa  seizin  pemilik  dan tanpa  adanya  udzur seperti sakit, berpergian jauh, khawatir akan kebakaran, atau khawatir bangunan tempat menyimpan akan roboh.
v  Bila Si Wadik menempatkan/menaruh wadi’ah di tempat yang tidak sepatutnya. Dan bila si wadik memindhkan wadi’ah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepatuttnya.
Syaikh Muhammad Ibn Abdurrahman Asy syafi’i dalam kitab Romatul Ummah menegaskan tetang perselisihan ulama’ dalam masalah Wadik yang memindahkan wadi’ah ketempat/orang lain tanpa ada udzur. pendapat pertama, Abu Hanifah, Imam Malik dan Ahmad berkata bila Si Wadik menitipkan wadi’ah  kepada  orang  yang  wajib ia nafkahi meskipun tanpa udzur, ia tidak dikenai tanggung jawab atas beban wadi’ah. pendapat  kedua, Imam Syafi’i berkata apabila Si Wadik menitipkan wadi’ah kepada orang lain tanpa ada udzur, harus menanggung beban atas wadi’ah.
Keterangan yang sama  juga di paparkan dalam kitab Anwarul Masalik  bahwa factor yang menyebabkan si wadik menanggung kerugian atas wadi’ah, diantaranya :  Si Wadik menitipkan wadi’ah  pada  orang  lain tanpa  sebab  berpergian jauh atau tanpa adanya dharurat, wadi’ah dicampur dengan hartanya sendiri sehingga tidak bias dibedakan antara hartanya dengan wadi’ah, Si Wadik menggunakan wadi’ah atau mengeluarkannya untuk dimanfaatkan namun sia-sia, menyimpannya pada tempat yang tidak  semestinya, atau Si Wadik menaruh wadi’ah tidak pada tempat yang diinginkan oleh Si Mudik.
Termuat juga dalam kitab Kifayatul Akhyar mengenai konsekuensi wadi’ah, yakni apabila Si Mudik meminta wadi’ahnya, maka Si Wadik harus segera mengembalikan wadi’ah itu. Jika Si Wadik mengulurkan waktu penyerahan setelah diminta tanpa ada udzur, kemudian barang titipan rusak, maka Si Mudik harus menanggung kerusakan wadi’ah.
Udzur yang dimaksud disini adalah,  seperti pada waktu shalat, qodho’ hajat, sedang bersuci, atau sedang didalam kamar mandi, khawatir akan hujan, ataupun wadi’ah berada ditempat lain, jika ke semua udzur (alasan) ini ada, boleh menunda pengembalian wadi’ah.
Dalam Rahmatul Ummah diterangkan panjang lebar mengenai konseksuensi wadi’ah dan pertanggungjawaban atas rusaknya wadi’ah dikarenakan kelalaian Si Wadik atau kecerobohannya,  sebagaimana yang di jelaskan oleh Qodhi Abdul Wahhab Bahwa apabila barang yang di titip (wadi’ah) termasuk benda yang tidak bisa ditakar maupun ditimbang seperti kendaran dan pakaian, lalu Si Wadik mempergunakannya kemudian wadi’ah itu rusak, maka Si Wadik harus mengganti berdasarkan nilainya (harganya), bukan dengan bentuk barang yang semisal. Karena ia telah ceroboh dan tidak berhati-hati dalam menggunakan wadi’ah dan telah keluar dari wilayah amanah.
Dari uraian diatas penyusun berkesimpulan  bahwa pada dasarnya wadi’ah itu adalah amanah murni bukan dhomanah. Akad wadi’ah juga termasuk dalam akad tolong menolong (saling mempercyai), sehingga orang yang dititpi tidak bisa diminta pertanggung jawaban atas rusak atau hilangnya wadi’ah, melainkan apabila rusaknya wadi’ah didasarkan atas kelalaiannya dan tidak dijaga menurut sebagaimana mestinya.
Rasulullah bersabda :

من أودع وديعة فلا ضمان عليه

“Siapa yang dititipi tidak berkewajiban menjamin”.
(H.R. Ibnu Majah).









BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Wadi’ah  adalah  sesuatu  yang  dititp (ditinggalkan) berupa harta atau yang  lainnya  pada orang yang mau menjaganya untuk dikembalikan kepada  pemiliknya  kapanpun  diminta, dan  wadi’ah  di syari’aatkan  oleh Al Qur’an dan Al Hadits.