MAKSIMALISASI LABA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga dengan segala kekurangan yang ada,
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa pula
shalawat dan salam kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW, yang telah
meromba umatnya dari zaman jahiliyah menjadi zaman yang berpengatahuan.
Alhamdulillah
Makalah ini dibuat
karena tugas kami sebagai mahasiswa/i. Kami menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan bahkan masih banyak kekurangan
dan kelemahan baik dari aspek dan subtansi maupun kedalaman pengetahuan,
kendati demikian kami berusaha seoptimal mungkin dalam melakukan penyusunan
makalah ini. Untuk menyempurnakan makalah ini berbagai saran, kritik dan
pendapat kami harapkan.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita khususnya tentang ‘’MAKSIMALISASI
LABA’’.
Akhir kata semoga Allah
swt senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amiiin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Umumnya suatu perusahaan/bank
didirikan dengan tujuan utamanya adalah bagaimana menciptakan laba semaksimall
mungkin, disamping untuk mensejahterakan para anggota atau karyawannya laba
merupakan suatu pendapatan yang diperoleh oleh sebuah perusahaan yang biasanya
dinyatakan dalam suatu periode tertentu.
Menurut Baridwan (2000;215), Akuntansi
Manajemen menyatakan bahwa keuntungan (Laba) yang dihasilkan dengan
penjualan barang dan jasa jumlahnya dapat diukur dengan pembebanan yang
dilakukan terhadap atas pembeli,klien atau penyewa untuk barang-barang atau
jasa yang diserahkan kepada mereka.
Menurut Munawir (2002;47),
Analisa Laporan Keuangan, Laba adalah Selisih pendapatan yang telah
direalisasikan dengan biaya yang terjadi untuk mendapatkan pendapatan tersebut.
Sedangkan menurut Nitisemito
(1999;78), menyatakan bahwa laba ialah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan dibandingkan dengan modal yang digunakan dan dinyatakan dengan
persen.
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah yang dapat di rumuskan adalah
1.
Bagaimana laba dalam
pandangan sekuler…?
2. Bagaimanakah Posisi Laba Secara
Islami…?
3. Jelaskan Maksimalisasi Laba
Dan Efek Sosialnya..?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian laba
dalam pandangan sekuler.
2.
Mengetahui posisi laba
secara islami
3.
Memahami dan mengetahui
pengertian maksimalisasi laba dan efek sosialnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Laba Dalam
Pandangan Sekuler
Laba merupakan elemen yang paling menjadi
perhatian pemakai karena angka lebih diharapkan cukup kaya untuk merepresentasi
kinerja perusahaan secara keseluruhan. Akan tetapi, teri akuntasi sampai saat
ini belum mencapai kemantapan dalam pemaknaan dan pengukuran laba. Laba atau
keuntungan dapat didefinisikan dengan 2 cara, yaitu :
1.
Laba dalam Ilmu Ekonomi murni didefinisikan
sebagai peningkatan kekayaan seorang investor sebagai hasil penanam modalnya,
setelah dikurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan penanaman modal tersebut
(termasuk di dalamnya biaya kesempatan)
2.
Laba dalam akuntansi didefinisikan sebagai selisih antara harga penjualan
dengan biaya produksi.
Dari sudut pandang perekayasa akuntansi, konsep
laba dikembangkan untuk memenuhi tujuan menyediakan informasi tentang kinerja
perusahaan secara luas. sementara itu, pemakai informasi mempunyai tujuan yang
berbeda-beda. Teori akuntansi laba menghadapi dua pendekatan, pertama laba
untuk berbagai tujuan atau beda tujuan beda laba. Teori akuntansi diarahkan
untuk memformulasi laba dengan pendekatan pertama. Konsep dalam tataran
semantik meliputi pemaknaan laba sebagai pengukur kinerja, pengkonfirmasi
harapan investor, dan estimator laba ekonomik. Meskipun akuntansi tidak harus
dapat mengukur dan menyajikan laba ekonomik, akuntansi paling tidak harus
menyediakan informasi laba yang dapat digunakan pemakai untuk mengukur laba
ekonomik yang gilirannya untuk menentukan nilai ekonomik perusahaan.
Makna laba secara umum adalah kenaikan
kemakmuran dalam suatu periode yang dapat dinikmati (didistribusi atau
ditarik) asalkan kemakmuran awal masih tetap dipertahankan. Pengertian semacam
ini didasarkan pada konsep pemertahanan kapital. Konsep ini membedakan
antara laba dan kapital. Kapital bermakna sebagai persediaan (stock) potensi
jasa atau kemakmuran sedangkan laba bermakna aliran (flow) kemakmuran. Dengan
konsep pemertahanan kapital dapat dibedakan antara kembalian atau
investasi dan pengembalian investasi serta antara transaksi operasi dan
transaksi pemilik. Lebih lanjut, laba dapat dipandang sebagai perubahan aset
bersih sehingga berbagai dasar penilaian kapital dapat diterapkan.
Laba adalah kenaikan modal (aktiva bersih) yang
berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu
badan usaha, dan dari semua transaksi atau kejadian lain yang mempunyai badan
usaha selama satu periode, kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau
investasi pemilik (Baridwan, 1992:55).
Penegertian laba secara umum adalah selisih
dari pendapatan di atas biaya-biayanya dalam jangka waktu (periode) tertentu.
Laba sering digunakan sebagai suatu dasar untuk pengenaan pajak, kebijakan
deviden, pedoman investasi serta pengambilan keputusan dan unsurprediksi
(Harnanto, 2003:444).
Dalam teori ekonomi juga dikenal adanya istilah
laba, akan tetapi pengertian laba di dalam teori eonomi berbeda dengan
pengertian laba menurut akuntansi. Dalam teori ekonomi, para ekonom mengartikan
laba sebagai suatu kenaikan dalam kekayaan perusahaan, sedangkan dalam
akuntansi, laba adalah perbedaan pendapatan yang direalisasi dari transaksi
yang terjadi pada waktu dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada
periode tertentu (Harahap, 1997).
Laba atau rugi sering dimanfaatkan ukuran untuk
menilai prestasi perusahaan atau sebagai dasar ukuran penilaian yang lain,
seperti laba per lembar saham. Unsur-unsur yang menjadi bagian pembentuk laba
adalah pendapatan dan biaya.
Jadi dapat di
simpulkan maksimalisasi laba atau
keuntungan maksimum adalah keuntungan penuh yang berasal dari output yang telah
di Produksi sebelum nya. Tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum
dapat disidik dengan pendekatan diferensial. Karena baiak penerimaan total (Revenue
: R) maupun biaya (Cost : C) sama-sama merupakan fungsi dari jumlah keluaran
yang dihasilkan/terjual (Quantit : Q), maka di sini dapat dibentuk suatu fungsi
baru yaitu fungsi keuntungan.
Ada beberapa
pendekatan yang di gunakan dalam menentukan keuntungan maksimal yakni;
1.
Pendekatan Total
Laba Total (p) adalah perbedaan antara penerimaan total (TR) dan
biaya total (TC). Laba terbesar terjadi pada selisih posistif terbesar antara
TR dengan TC. Pada selisih negative antar TR dengan TC perusahaan mengalami
kerugian, sedang jika TR = TC perusahaan berada pada titik impas. Dalam
menentukan keuntungan maksimum ada 2 cara sebagai berikut:
·
Keuntungan maksimum dicari dengan jalan mencari
selisih antara keuntungan maksimum dengan ongkos minimum.
·
Keuntungan maksimum terjadi pada saat MR = MC.
Hasil Penjualan Total, seluruh jumlah pendapatan yang diterima perusahaan dari
menjual barangjang diproduksikannya dinamakan hasil penjualan total (TR:yaitu
dari perkataan Total Revenue). Telah diterangkan bahwa dalam persaingan
sempurna harga tidak akan berubah walau bagaimanapun banyaknya jumlah barang
yang dijual perusahaan.Ini menyebabkan kurva penjualan total (TR) adalah
berbentuk garis lurus yang bermula dari titik O.
|
Mencari Keuntungan Dengan Pendekatan Total
Kurva TC berada di atas kurva TR menggambarkan bahwa perusahaan mengalami
kerugian. Produksi mencapai diantara 2 sampai 9 unit kurva TC berada di bawah
kurva TR, perusahaan memperoleh keuntungan. Menentukan Keuntungan Maksimum
dengan Kurva Biaya dan Penjualan Total.Garis tegak di antara TC dan TR,garis
tegak yang terpanjang produksi adalah 7 unit,menggambarkan keuntungan yang
paling maksimum. Produksi mencapai 10 unit atau lebih kurva TC telah beada di
atas kurva TR kembali, perusahaan mengalami kerugian kembali. Perpotongan di
antara kurva TC dan kurva TR dinamakan titik impas (break-even point) yang
menggambarkan biaya total yang dikeluarkan perusahaan adalah sama dengan hasil
penjualan total yang diterimanya.Perpotongan tersebut berlaku di dua titik,
yaitu titik A dan titik B.
2.
Pendekatan Marginal
Perusahaan memaksimumkan keuntungan pada saat
penerimaan marginal (MR) sama dengan biaya marginal (MC). Biaya Marginal (MC)
adalah perubahan biaya total perunit perubahan output. Secara matematis
dirumuskan: Penerimaan Marginal (MR) adalah perubahan penerimaan total per unit
output atau penjualan. Hasil Penjualan Marjinal, satu konsep (istilah) mengenai
hasil penjualan yang sangat penting untuk diketahui dalam analisis penentuan
harga dan produksi oleh suatu perusahaan adalah pengertian hasil penjualan
marjinal (MR yang merupakan singkatan dari perkataan Marjinal’Revenue), yaitu
tambahan hasil penjualanjangdiperoleh perusahaan dari menjual satu unit lagi
barangyang diproduksikannya.Dalam pasar persaingan sempurna berlaku keadaan
berikut harga hasil penjualan rata-rata hasil penjualan marjinal. Kurva d() =
AR0 = MRn menggambarkan kesamaan tersebut pada harga Rp 3000, dan kurva d0 =
AR0 = MR0 menggambarkan kesamaan tersebut pada harga Rp 6000.
Mencari Keuntungan Maksimum Dengan Pendekatan
Marginal Pendekatan Biaya Marjinal dan Hasil Penjualan Marjinal.Dalam jangka
pendek terdapat empat kemungkinan dalam corak keuntungan atau kerugian perusahaan
(atau keadaan keseimbangan perusahaan), yaitu :
- Mendapat untung luar biasa (untung melebihi normal)
- Mendapat untung normal
- Mengalami kerugaian tetapi masih dapat membayar biaya
berubah
- Dalam keadaan menutup atau membubarkan perusahaan.
3.
Pendekatan Rata-rata
Hasil Penjualan Rata-rata, untuk suatu
perusahaan dalam pasar persaingan sempurna hasil penjualan rata-rata (AR)
adalah harga barang yang diproduksi perusahaan adalah Rp 3000 maka d0=AR0= MRQ
adalah kurva permintaan yang dihadapi perusahaan. Dengan demikian kurva ini
adalah kurva hasil penjualan rata-rata pada harga barang sebanyak Rp 3000 (dan
dinyatakan sebagai AR^. Kalau harga barang yang dijual perusahaan adalah Rp
6000, kurva d} = AR} = MRj adalah kurva permintaan dan juga kurva hasil
penjualan rata-rata pada harga Rp 6000. Dalam mencari keuntungan maksimum
dengan pendekatan rata-rata,yaitu menggabungkan antara pasar persaingan
sempurna dengan persaingan pasar tidak sempurna.
Motivasi bagi produsen untuk melakukan kegiatan
ekonomi (dalam hal ini untuk menghasilkan suatu barang atau jasa) adalah
memperoleh keuntungan, yang merupakan kepentingan perusahaƔn individual/pribadi
(self interest). Lebih lengkap lagi, yang menjadi kepentingan pribadi tersebut
adalah keinginan memperoleh keuntungan (profit)yang sebesar-besarnya dari
sumber-sumber ekonomi yang sudah tertentu yang di alokasikan dalam kegiatan
produksi. Dengan demikian, tujuan untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya(maksimum)merupakan asumsi dalam meng-analisis perilaku
produsen (individual maximization). Sekalipun paradigma untuk memperoleh
keuntungan yang maksimum sudah bergeser pada paradikma penetrasi pasar, atau
yang berorientasi pada pasar, paradigm a optimimalisasi secara teroritik di
pertahankan karena akan memberikan dasar secara logis dalam analisis ekonomi.
Di samping itu, dalam persaingan sempurna terdapat begitu banyak pernjual/
produsen prinsip optimalisasi penggunaan sumber ekonomi merupakan hal yang
masih dipertahankan(ingat bahwa produsen secara individu tidak dapat
mempengaruhi harga).
B.
Posisi Laba Secara Islami
Dalam
bahasa Arab, laba berrti pertumbuhan dalm dagang, seperti terdapat dalam kitab
Lisanul-Arab karangna Ibnu manzur: yaitu pertmbuhan dalam dagang. Berkata
Azhadi, mak jual beli adalah ribh dan perdagangan adalah rabihah, yaitu laba
hasil dagang. Orang-orang Arab berkata, khath, yaitu ‘saya memberinya laba
(untung)’, atau ‘memberikan padanya laba dengan barang-barangnya’. Ia telah
memberinya harta muranahah, yaitu harta yang berasal dari keuntungan mereka
berdua. Contoh lain, “Sayas telah menjual sesuatu (barang) secara muarabahah
dengan ketentuan dari setiap 10 dirham diambil 1 dirham. “Artinya, dengan
keuntungan satu dirham berarti 10%. Untuk pembahasan hukum laba ada perincian
yang detail dalam buku-buku fiqih tertentu.
1.
Etika mengambil laba dalam islam
Banyak cara
yang dapat ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya
berdagang (berniaga). Berdagang merupakan cara yang efektif untuk mendapatakan
keuntungan atau laba. Di samping itu, juga menjadi sarana yang dapat
mendekatkan seorang hamba terhadap Tuhannya. Di mana, berniaga dapat membantu
sesama saudara yang membutuhkan barang komoditas.
Berdagang pernah dipraktekkan Nabi Muhammad
saw. di saat usianya baru menginjak 13 tahun. Usia yang bisa dibilang cukup
belia. Bersama pamannya beliau berdagang ke negeri Syam untuk menyalurkan
barang-barang dari Makkah. Imam madzhab pun juga pernah berniaga. Abu Hanifah
adalah salah satu dari imam madzhab yang dikenal sebagai pedagang yang cukup
sukses. Namun, beliau lebih dikenal sebagai pengarang kitab (mushannif)
daripada saudagar, karena yang dominan pada beliau adalah ke-ulama’-annya.
Sehingga, sisi yang lain tidak banyak terungkap di permukaan.
Praktek jual-beli (berdagang) dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah ba’i dan tijarah. Ba’i dan tijarah
memiliki perbedaan makna, di mana ba’i adalah tukar menukar barang dengan yang
lain sebatas ingin memenuhi kebutuhan tidak sampai pada keinginan mendapatkan
keuntungan atau laba. Beda halnya dengan tijarah yang lebih menitikberatkan
pada hasil atau laba. Namun, pada intinya keduanya memiliki satu tujuan, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan, baik bertujuan mendapatkan hasil atau tidak.
Ulama fiqh mengkategorikan jual beli sebagai
usaha yang baik. Jual beli menempati posisi nomor tiga setelah bercocok tanam (bertani)
dan perindustrian. Al-Malibary menuturkan dalam kitabnya, Fath al-Mu’in,
Ų£ŁŲ¶Ł Ų§ŁŁ
ŁŲ§Ų³ŲØ
Ų§ŁŲ²Ų±Ų§Ų¹Ų© Ų«Ł
Ų§ŁŲµŁŲ§Ų¹Ų© Ų«Ł
Ų§ŁŲŖŲ¬Ų§Ų±Ų©
“Usaha yang terbaik adalah
bercocok tanam, perindustrian, kemudian perniagaan.”
Muhammad Syattha al-Dimyati dalam kitabnya, I’anah
al-Thalibin, mencoba mengurai alasan perniagaan masuk dalam usaha yang
baik. Menurut beliau, tidak sedikit dari kalangan sahabat yang melakukan
praktek jual beli dan dari hasil perniagaan itulah mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka.
Jual beli yang dimaksudkan al-Malibary tentu
jual beli yang tidak mengandung unsur penipuan atau gharar yang bisa merugikan
salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam arti, pihak pembeli
dan penjual sama-sama rela serta tanpa ada unsur keterpaksaan dalam
bertransaksi.
Dalam berniaga, tentu yang menjadi prioritas
utama adalah mendapatkan keuntungan atau laba. Namun, terkadang seseorang lupa
akan etika jual-beli, sehingga memiliki kecenderungan untuk meraup keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan pihak konsumen (pembeli). Padahal tujuan
jual-beli sesungguhnya bukan semata-mata murni mencari keuntungan atau laba,
namun juga membantu saudara yang sedang membutuhkan.
Keinginan untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya akan berdampak pada kecenderungan pedagang untuk berbuat
negatif serta berbohong, menipu, manipulasi, bersumpah-serapah, mengambil
kesempatan dalam kesempitan, dan lain-lain. Hal ini tentu sangat dilarang oleh
Islam. Nabi saw. bersabda,
Ų³ŁŁ Ų§ŁŲŖŲ±Ł
Ų°Ł -
Ų§ŁŲŖَّŲ§Ų¬ِŲ±ُ Ų§ŁŲµَّŲÆُŁŁُ Ų§ŁْŲ£َŁ
ِŁŁُ
"Pedagang
itu (harus) jujur dan terpercaya".
Dalam kesempatan yang lain, Nabi saw. pernah
ditanya sahabatnya perihal usaha yang baik untuk dikerjakan, sebagaimana dalam
haditsnya,
Ł
Ų³ŁŲÆ Ų£ŲŁ
ŲÆ ŲØŁ
ŲŁŲØŁ - Ų£َŁُّ Ų§ŁْŁَŲ³ْŲØِ Ų£َŲ·ْŁَŲØُ ŁَŲ§Łَ Ų¹َŁ
َŁُ Ų§ŁŲ±َّŲ¬ُŁِ ŲØِŁَŲÆِŁِ ŁَŁُŁُّ ŲØَŁْŲ¹ٍ
Ł
َŲØْŲ±ُŁْŲ±ٍ
“Usaha apakah yang paling baik, Nabi menjawab:
Pekerjaan seseorang dengan tangannya (jerih payahnya) dan tiap-tiap jual beli
yang mabrur.”
Mabrur maksudnya adalah jual beli yang terbebas
dari penipuan dan kecurangan. Termasuk dalam kriteria curang adalah melakukan
sumpah palsu untuk menarik perhatian konsumen. Tak heran, bila Islam melarang
praktik penawaran untuk mengecoh minat konsumen (najsy) dan lain
sebagainya yang berpotensi merugikan pembeli.
Kecenderungan untuk mengambil laba setinggi
mungkin pada biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu. Semisal hari raya
‘idul fitri, tahun baru, hari natal, dan seremonial yang lain, semisal
pengajian, konser, dan lain-lain. Pada hari-hari inilah, para penjual dengan
berbagai alasan, menaikkan harga barang tanpa kenal kompromi. Tak ayal, para
konsumen pun banyak yang mengeluh.
Berbicara tentang laba atau keuntungan, tentu
yang dimaksud adalah hasil yang diusahakan melebihi dari nilai harga barang.
Dalam pandangan Wahbah al-Zuhaili, pada dasarnya, Islam tidak memiliki batasan
atau standar yang jelas tentang laba atau keuntungan. Sehingga, pedagang bebas
menentukan laba yang diinginkan dari suatu barang. Hanya saja, menurut beliau
keuntungan yang berkah (baik) adalah keuntungan yang tidak melebihi sepertiga
harga modal.
Ibnu Arabi juga memberikan komentar tentang
batasan pengambilan laba sebagai konsep penetapan harga. Menurut beliau,
penetapan laba harus memperhatikan pelaku usaha dan pembeli. Oleh karena itu,
pelaku usaha boleh menambah laba yang akan berakibat makin tingginya harga.
Sedangkan pembeli juga diperkenankan untuk membayar lebih dari harga barang
yang dibelinya.
Beliau juga mengatakan, bahwa tidak boleh
mengambil keuntungan terlalu besar. Beliau mengkategorikan hal tersebut dengan
orang yang makan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, di samping itu
juga masuk dalam kategori penipuan. Karena dalam pandangan beliau, hal itu
bukanlah tabarru’ (pemberian sukarela) juga bukan mu’awadhah
(tukar-menukar), karena pada biasanya dalam mu’awadhah tidak sampai mengambil
laba terlalu besar.
Pendapat Ibnu Arabi ini sama dengan pendapat
yang dikemukakan Imam Malik bin Anas. Dalam pandangan Imam Malik, pelaku usaha
atau pedagang pasar tidak boleh menjual barangnya di atas harga pasaran.
Mengingat, mereka juga harus memperhatikan kemaslahatan para pembeli. Sedangkan
menjual barang dengan harga di atas harga pasaran (normal) akan mengabaikan
kemaslahatan pembeli. Bahkan, dalam hal ini beliau memberikan peringatan dengan
sangat tegas. Kalau sekiranya ada pedagang (di pasar) menjual di luar harga
pasaran, maka harus dikeluarkan dari pasar tersebut.
Sedangkan menurut sebagian ulama dari kalangan
Malikiyyah membatasi maksimal pengambilan laba tidak boleh melebihi sepertiga
dari modal. Mereka menyamakan dengan harta wasiat, di mana Syari' membatasi
hanya sepertiga dalam hal wasiat. Sebab wasiat yang melebihi batas tersebut
akan merugikan ahli waris yang lain. Begitu pula laba yang berlebihan akan
merugikan para konsumen (pembeli). Oleh sebab itu, laba tertinggi tidak boleh
melebihi dari sepertiga.
Islam memang tidak memberikan standarisasi
pasti terkait pengambilan laba dalam jual beli. Kendatipun begitu, sepantasnya
bagi seorang muslim untuk tidak mendhalimi sesama muslim yang lain dengan
mengambil keuntungan terlalu besar. Harga yang sangat mahal karena keuntungan
yang diambil sangat besar tentu sangat memberatkan kepada pihak pembeli. Dalam
hal ini, tidak akan ada istilah tolong menolong yang sedari awal sangat
diwanti-wanti oleh Islam. Islam tidak melarang untuk mengambil keuntungan,
namun dalam batas kewajaran.
Tirulah mu’amalah yang dilakukan Nabi,
di mana beliau tidak jarang menyebutkan harga pokok barang agar konsumen
(pembeli) tidak merasa rugi dan dipermainkan dengan harga. Dengan demikian,
tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Toh, pembeli juga rela dengan laba yang
diambil pihak penjual asalkan sewajarnya.
2.
Batasan-batasan dalam menentukan maksimalisasi
laba
Menurut Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin, “Tidak ada batasan maksimal keuntungan karena
keuntungan dagang adalah anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkadang
Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan rezeki yang banyak untuk seseorang
sehingga dia mendapatkan keuntungan 10 persen atau lebih. Terkadang seorang
pedagang kulakan ketika harga murah kemudian harga barang tersebut di pasaran
naik sehingga dia mendapatkan keuntungan yang banyak. Sebaliknya terkadang
ketika kulakan harga tinggi lalu harga tersebut jatuh di pasaran.
Jadi tidak ada
batasan maksimal keuntungan yang boleh diambil oleh seorang pedagang. Namun,
jika seorang pedagang itu adalah satu-satunya pemasok suatu produk dan satu-satunya
yang memasarkan produk tersebut di dalam negeri lalu dia mengambil keuntungan
yang terlalu besar, maka tindakan yang dia lakukan ini terlarang. Alasannya,
karena jual beli yang terjadi serupa dengan jual beli dengan orang yang
terpaksa, mau tidak mau harus membeli barang tersebut. Jika masyarakat
membutuhkan suatu produk namun produk tersebut hanya ada pada person tertentu
padahal mereka sangat membutuhkannya. Tentu saja masyarakat mau dan rela
membeli produk tersebut meski harga sangat-sangat tidak wajar. Dalam kondisi
semisal ini pemerintah boleh campur tangan dengan menetapkan harga eceran
tertinggi dan menetapkan keuntungan yang layak bagi si pedagang. Berkurangnya
keuntungan tidaklah merugikan si pedagang dan pedagang dilarang untuk mengambil
keuntungan lebih dari itu, karena hal itu menyebabkan masyarakat dirugikan.
Dari uraian di
atas, bisa disimpulkan bahwa penetapan batas maksimal harga atau keuntungan
para pedagang yang ditetapkan oleh pemerintah itu ada dua macam yakni :
a.
pemerintah
terpaksa melakukannya karena adanya pihak-pihak yang menzalimi masyarakat
dengan melakukan penimbunan. Penetapan harga dalam kondisi semacam ini hukumnya
adalah tidak mengapa dan ini adalah contoh kebijakan pemerintah yang
benar-benar bijak.
Terdapat hadis yang shahih dari Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan
kecuali pendosa.” Pendosa adalah orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja.
Jika dia pendosa maka dia perlu diluruskan, dalam hal ini dilakukan oleh
pemerintah dengan menetapkan harga jual maksimal ke masyarakat. Jika ada pihak
yang melakukan penimbunan barang tertentu dan tidak ada yang menjual barang
tersebut kecuali dirinya padahal masyarakat sangat membutuhkan barang tersebut
maka pemerintah berkewajiban untuk turun tangan dengan menetapkan batasan
keuntungan bagi si pedagang. Si pedagang tidak dirugikan dengan kebijakan
tersebut dan masyarakat diuntungkan karenanya.
b.
jika kenaikan
harga barang itu tidak disebabkan kezaliman yang dilakukan oleh sebagian pelaku
pasar namun dari Allah SWT dalam bentuk berkurangnya
jumlah barang yang beredar di pasaran atau sebab selainnya yang mempengaruhi
perekonomian secara umum maka pematokan harga oleh pemerintah tidaklah boleh
dilakukan, karena pematokan harga dalam hal ini bukanlah tindakan menghilangkan
kezaliman yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar yang secara sepihak
menaikkan harga. Naik dan turunnya harga itu ada di tangan Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Oleh karena itu, ketika terjadi kenaikan harga di kota Madinah di masa
Nabi shalallahu
’alaihi wa sallam, banyak orang yang datang menemui Nabi shalallahu
’alaihi wa sallam lalu berkata, “Ya Rasulullah tetapkan harga
barang-barang untuk kami!” Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’alayang menetapkan harga di pasaran. Dialah yang
melapang dan menyempitkan rezeki karena Dialah yang membagikan rezeki. Sungguh
aku berharap bahwa aku berjumpa dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam kondisi tidak ada satupun orang yang menuntutku karena aku
menzalimi darah atau hartanya.”
Nabi menolak untuk menetapkan harga karena kenaikan harga terjadi
bukan karena ulah pelaku pasar. Jadi pematokan harga oleh pemerintah itu ada
dua macam. Pertama,
jika faktor pendorongnya adalah upaya menghilangkan kezaliman maka hukumnya
adalah tidak mengapa. Kedua,
pematokan harga oleh pemerintah adalah bentuk kezaliman pemerintah kepada
pelaku pasar karena kenaikan harga bukan dikarenakan ulah sebagian pelaku pasar
maka pematokan harga dalam kondisi ini adalah kezaliman sehingga tentu saja
tidak diperbolehkan.
C.
Maksimalisasi Laba Dan Efek Sosialnya
1.
Manajemen laba
Manajemen laba
didefinisikan sebagai usaha manajer untuk melakukan manipulasi laporan keuangan
dengan sengaja dalam batasan yang dibolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi
yang bertujuan untuk memberikan informasi yang menyesatkan kepada para pengguna
laporan keuangan untuk kepentingan para manajer (Meutia, 2004).
Menurut
Sulistyanto (2008) dalam Nuraini (2012), manajemen laba dilakukan dengan
mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab pada
komponen akrual dapat dilakukan permainan angka melalui metode akuntansi yang
digunakan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan dan
penyusunan laporan keuangan. Komponan akrual merupakan komponen yang tidak
memerlukan bukti kas secara fisik sehingga mempermainkan besar kecilnya
komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan
perusahaan (Sulistyanto, 2008 dalam Nuraini, 2012). Sugiri (1998) dalam Arif
(2012) mendefinisikan manajemen laba sebagai perilaku manajer yang bermain
dalam komponen discretionary accruals dalam menentukan besar labanya.
Walaupun tidak menyalahi prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum namun ini
dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat pada laporan keuangan eksternal
dan menghalangi kompetensi aliran modal di pasar modal (Scott et al., 2001
dalam Meutia, 2004). Manajemen laba dalam lingkup yang lebih luas dapat
didefiniskan sebagai tindakan manajer dalam meningkatkan (menurunkan) laba saat
ini atas suatu usaha dan manajer bertanggung jawab tanpa mengakibatkan
peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut
(Sugiri, 1998 dalam Arif, 2012).
Menurut Scott
(2003) terdapat dua cara untuk mamahami manajemen laba. Pertama, sebagai
perilaku oportunistik manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya dalam
menghadapi kompensasi, kontrak utang dan biaya politik. Kedua, memandang
manajemen laba dari perspektif kontrak efisien, yaitu manajemen laba memberi
manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka sendiri dan perusahaan
dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan semua
pihak yang terlibat dalam kontrak. Manajemen laba memiliki pola-pola tertentu
di dalam prakteknya.
Pola Manajemen
Laba menurut Scott yakni sebagai berikut:
a.
Taking a bath
Pola manajemen laba yang melaporkan laba pada
periode berjalan dengan nilai yang sangat rendah atau sangat tinggi.
b.
Income minimization
Pola manajemen ini seperti taking a bath tapi
tidak se-ekstrim pola taking a bath. Menjadikan laba di periode berjalan
lebih rendah dari pada laba sesungguhnya.
c.
Income maximization
Pola manajemen laba ini berkebalikan dengan
income minimization. Melaporkan laba lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.
mantap
BalasHapus