EPISTEMOLOGI
ISLAM
A. Pengertian
Epistemologi
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge)
dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu
yang membahas masalah-masalah pengetahuan.
Istilah
Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang
dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman
menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan
masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan
logika, tetapi pada umumnya epistemologi itu hanya membicarakan tentang teori
pengetahuan dan kebenaran saja.
Epistemologi
atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai
filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan
kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat
pengetahuan.
Beberapa
pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder
menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak,
batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan,
epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita
miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang
pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang
lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui
pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa
epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari
pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25)
Dari
beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman
yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari
epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan
itu.
Epistemologi atau
Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme,
metode kontemplatis dan metode dialektis.
B. Epistemologi
Islam
Sejak kedatangan islam
pada abad ke-13 M hingga saat ini fenomena pemahaman keislaman umat islam
Indonesia masih ditandai oleh keadaan yang amat variatif. Kita tidak tahu
persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus
diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, atau diperlukan
adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai
faham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat variatif
tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an dan Al Sunnah
serta sejalan dengan data-data historis yang dapat pertanggung jawabkan
keabsahannya.
Kajian epistemologi
Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang
disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah
melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan
kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti
keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang
yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak
pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k”
kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan
relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing
C. Sumber Pengetahuan
Dikalangan Ulama tardapat
kesepakatan bahwa sumber Ajaran islam yang utama adalah Al Qur’an dan As
Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran adalah alat untuk memahami Al
Qur’an dan Al Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama islam itu sendiri
sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT. Yang penjabarannya dilakukan oleh
Nabi Muhammad SWA. Di dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 59. Kita dianjurkan
agar mentaati Allah dan Rasul-Nya serta Ulil amri (pemimpin). Di mana
ketentuan-ketentuan Allah yang terdapat dalam Al Qur’an, dan ketentuan Nabi
Muhammad Saw. Yang terdapat dalam hadist mengandung konsekuensi ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya ketaatan kepada Ulil amri, ia tetap manusia
yang memiliki kekurangan dan tidak datap diputuskan . jika produk dari Ulil
amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya maka wajib diikuti,
sedangkan jika produk dari ulil amri tersebut bertentangan dengan kehendaknya
Allah, maka tidak wajib mentaatinya.
D. Kriteria kebenaran dalam
epistimologi islam
Pandangan islam akan
ukuran kebenaran merujuk kepada landasan keimanan dan kenyakinan terhadap
keadilan yang bersumber pada Al Qur’an. Sebagaiman yang diutarakan oleh Fazru
Rahman yang bersumber dari Al Qur’an adalah semangat moral, ide-ide keadilan
sosial,dan ekonomi. Hukum moral adalah abadi, ia adalah “perintahAllah”.
Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hokum moral. Ia harus menyerahkan
diri kepadanya.peryataan ini dinamakan islam dan implementasinya dalam
kehidupan disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah. Tetapi hokum
moral dan nila-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.
Dalam kajian
epistimologi islam dijumpai beberapa teori tentang kebenaran:
1.
Teori Korespondensi
Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu benar adalah
apabila terdapat suatu pfakta bersesuaian, yang beralasan dengan realitas, yang
serasi dengan situasi aktual, maka kebenaran adalah sesuai dengan situasi akal
diberinya implementasi.
2.
Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara
putusan dengan suatu yang lain yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan
antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas
hubungan antara putusan-putusan yang lebih baik dengan putusan lainnya yang
telah kita ketahui dan diakui benar terlebih dahulu, jadi sesuatu itu benar,
hubungan itu saling berhubungan dengan kebenaran sebelumnya.
Teori Praktis
Teori ini merupakan benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau
semata-mata tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori
tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya.
E. Akal dan wahyu dalam
islam
Pengetahuan melalui
kajian epistimologi diperolehbmelalui
akal yangsehat melaui pembuktian fakta-fakta yang rasional juga dengan cara
indrawi melalui kepercayaan. (iman). Dalam pandangan islam akal manusia
mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari beberapa
ayat Al Qur’an, pengetahuan lewat akal disebut pengetahuan “aqli” akal dengan
indra dalam kaitan dengan pengetahuan satu dengan yang lain tidak dipisahkan
dengan tajam, bahkan sering berhubungan.
Dalam pandangan islam,
akal mempunyai pengertian tersendiri dan berbeda dengan pengertian pada
umumnya. Dalam pengertian islam,akla berbeda dengan otak, akal dalam pandangan
islam bukan otak, melainkan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Akal dalam islam merupakan tiga unsur, yakni : fikiran, perasaan dan kemauan.
Dalam pengertian ini biasa fikiran terdapat pada otak, sedangkan perasaan
erdapat pada indra dan kemauan terdapat pada jiwa.
Di samping
rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan
wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu
masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa
melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di
situ. Inilah yang disebut intuisi.
Sementara wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan
ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun,
agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang
terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat
transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di
akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang
gaib (supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh
para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan
ilmiah pada logis-empiris.
Menurut Ahmad Tafsir,
terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu
iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam
Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya
telah bersih, maka ia telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan.
Aliran ini lebih terfokus pada ilhâm yang diturunkan Allah swt kepada manusia.
Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran
Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Jika kita menilik
pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati bahwa di
antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran
pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia
Barat yang membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam
khazanah pemikiran Islam aliran semacam itu hampir tidak ditemukan.
Lihat misalnya
pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran yang menjadi sumber
ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal sehat (ta’âqul) serta
intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh
al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan
memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.
Ibn Taimiyyah sendiri
tidak jauh berbeda dalam menjelaskan saluran-saluran pengetahuan ini. Dari tiga
yang pokok: khabar, akal dan indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada
indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni
intuisi hati. Terhadap teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di
atas, Ibn Taimiyyah juga memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya
pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm tersebut tidak boleh bertentangan dengan
khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah
swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi.
Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat
kedudukannya ketika berbenturan dengan ilhâm yang banyak di antaranya hanya
berupa lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Al-Ghazali
menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hâkim dalam makna pemutus benar
tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî
(akal). Menurut al-Ghazali, ketika hâkim wahmî itu terkadang bertentangan
dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan
tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka
al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah
swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang
yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak menyebutkannya
al-Ghazali kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya.
Karena di dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof
melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu.
Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya
ini adalah hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.
MANUSIA
DAN KEBUTUHAN DOKTRIN AGAMA
KEBUTUHAN
MANUSIA TERHADAP AGAMA,FUNGSI AGAMA DAN RASA INGIN TAHU MANUSIA TENTANG SEGALA
SESUATU YANG ADA
A. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan
ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan
hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta pertolongan
kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan itu.
Naluriah ini membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan membutuhkan Sang
Khaliknya.
Dari sini dapat dinyatakan bahwa setiap umat yang
ada di atas permukaan bumi, yaitu sejak manusia itu hidup tidak bisa lepas dari
akidah dan agama. Demikianlah sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam
firman-Nya.
Artinya: “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa
kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan
tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi
peringatan”. (Fathir: 24)
Yang dimaksud
dengan kebenaran di sini ialah agama tauhid dan hukum-hukumnya.
Yang dimaksud dengan pemberi peringatan adalah seorang nabi, rasul,
atau seorang yang alim yang mewarisi ilmu-ilmu para nabi. Ia memberi peringatan
kepada semua umat tentang akibat kekufurannya kepada Allah, kepada
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, syariat-syariat-Nya, dan mengancam mereka
dari bahaya syirik kepada Tuhan, berbuat maksiat kepada-Nya, kepada
rasul-rasul-Nya, dan apa yang menyertainya, yaitu penyimpangan perilaku berupa
kezhaliman, kejahatan dan kerusakan
- A. Pengertian
Manusia
Manusia adalah makhluk hidup yang berbadan tegak, yang
kulitnya tampak (tidak tertutup bulu), tampak kulitnya, mempunyai akal,
pemikiran, akhlak yang utama emosi yang selalu berubah-ubah, perasaan yang
benar, daya nalar yang sehat, serta perkataan yang fasih dan jelas.
Allah memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian
menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). Dia
menciptakan Adam, manusia pertama dari tanah dengan tangan-Nya dan meniupkan
roh (ciptaan)-Nya, lalu darinya Dia ciptakan Istrinya, Hawa. Dia ajarkan
kepadanya nama-nama, lalu menyuruh malaikat agar bersujud kepadanya, maka
mereka semua bersujud kecuali Iblis yang menolak. Dia melarangnya untuk makan
dari satu pohon, lalu dia lupa dan memakannya, maka, dia telah berbuat maksiat
dan durhaka karenanya. Lalu dia menerima beberapa kalimat dari Allah dan
mengucapkannya, maka Allah menerima taubatnya, kemudian menurunkannya ke bumi
sebagai khalifah setelah sebelumnya Dia mempersiapkan bumi itu baginya, dan
menyediakan segala apa yang ada di bumi untuk memenuhi kebutuhannya.
Itulah manusia dalam keyakinan kita. Dan keyakinan kita
tentang manusia ini bersumber dari wahyu langit, yang tidak ada jalan untuk
membandingkan, meneliti atau mencari dalil tentangnya, karena hal seperti itu
tidak bisa diketahui tanpa wahyu.Allah berfirman tentang penciptaan Adam,
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
(Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. (Al-Hijr:26)
Allah juga berfiman tentang penciptaan manusia,
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik”. (Al-Mukmin:12-14)
1.
B. Pengertian Agama
Pengertian agama dari segi bahasa antara lain uraian
yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain
dari kata agama, dikenal pula kata din ( ﻴن د) dari bahasa Arab dan
kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit.
Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun
dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap
di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah
satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi
lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks
atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya
dikatakan lagi bahwa agama berarti tuntunan. Pengertian ini tampak
menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.
Pada umumnya, kata “agama” diartikan tidak
kacau, yang secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata,
yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”.
Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan
sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.
Adapun kata religi berasal dari bahasa
latin. Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegere
yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian itu sejalan
dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang
terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain,
kata itu berasal dari kata religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.
Dari beberapa definisi tersebut, Harun Nasution
menyimpulkan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah
ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi
manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan
sehari-hari manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat di tangkap oleh
pancaindera.
Adapun pengertian agama dari segi istilah dapat
dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K. Nottinghamdalam bukunya Agama dan
Masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gejala yang begitu sering
terdapat di mana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat
abstraksi ilmiah.
Selanjutnya karena demikian banyaknya definisi tentang
agama yang dikemukakan para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi
definisi sebagai berikut:
1.
Pengakuan terhadap adanya
hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus di patuhi;
2.
Pengakuan terhadap adanya
hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai manusia;
3.
Mengikatkan diri pada suatu
bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar
diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia;
4.
Kepercayaan pada suatu kekuatan
gaib yang menimbulakan cara hidup tertentu;
5.
Suatu sistem tingkah laku (code
of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib;
6.
Pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib;
7.
Pemujaan terhadap kekuatan gaib
yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius
yang terdapat dalam alam sekitar manusia;
8.
Ajaran yang diwariskan Tuhan
kepada manusia melalui seorang rasul.
Pada semua definisi tersebut di atas, ada satu hal yang
menjadi kesepakatan semua, yaitu kepercayaan akan adanya sesuatu yang agung di
luar alam. Namun, lepas dari semua definisi yang ada di atas maupun definisi
lain yang dikemukakan oleh para pemikir dunia lainnya, kita meyakini bahwa
agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para
nabi-Nya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
Dari sini, kita bisa menyatakan bahwa agama memiliki
tiga bagian yang tidak terpisah, yaitu akidah (kepercayaan hati),
syari’at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak (konsep untuk
meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya). Meskipun demikian,
tidak bisa kita pungkiri bahwa asas terpenting dari sebuah agama adalah
keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.
B. FUNGSI AGAMA DALAM KEHIDUPAN
Secara
terperinci agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari beberapa aspek.
Diantaranya adalah aspek keagamaan (religius), kejiwaan (psikologis),
kemasyarakatan (sosiologis), asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics).
·
Dari Aspek Keagamaan
(Religius) : Agama menyadarkan manusia, tentang siapa penciptanya.
·
Secara Asal usul
(Antropologis) : Agama memberitahukan kepada manusia tentang siapa, darimana,
dan mau kemana manusia.
·
Dari segi
Kemasyatakatan (Sosiologis) : Sarana-sarana keagamaan sebagai lambang-lambang
masyarakat yang kesakralannya bersumber pada kekuatan yang dinyatakan
berlaku oleh seluruh anggota masyarakat. Dan fungsinya untuk
mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.Secara
Kejiwaan (Psikologis) : Agama bisa menenteramkan, menenangkan, dan membahagiakan
kehidupan jiwa seseorang.
·
Dan secara Moral
(Ethics), agama menunjukkan tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan
mendorong manusia berperilaku baik (akhlaq mahmudah)
C.
RASA INGIN TAHU MANUSIA
(Human Quest for Knowledge)
Manusia lahir tanpa
mengetahui sesuatu ketika itu yang diketahuinya hanya ”saya tidak tahu”. Tapi
kemudian dengan panca indra, akal, dan jiwanya sedikit demi sedikit
pengetahuannya bertambah, dengan coba-coba (trial and error), pengamatan,
pemikiran yang logis dan pengalamannya ia menemukan pengetahuan. Namun demikian
keterbatasan panca indra dan akal menjadikan sebagian banyak tanda tanya yang
muncul dalam benaknya tidak dapat terjawab. Hal ini dapat mengganggu perasaan
dan jiwanya, dan semakin mendesak pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin
gelisah ia apabila tak terjawab. Hal inilah yang disebut dengan rasa ingin tahu
manusia. Manusia membutuhkan informasi yang akan menjadi syaratkebahagiaandirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar