Menurut prinsip syariah, kegiatan pemasaran harus dilandasi
semangat beribadah kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, berusaha
semaksimal mungkin untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk kepentingan
golongan apalagi kepentingan sendiri. Islam agama yang sangat luar biasa. Islam
agama yang lengkap, yang berarti mengurusi semua hal dalam hidup manusia. Islam
agama yang mampu menyeimbangkan dunia dan akhirat; antara hablum
minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum
minannas (hubungan sesama manusia). Ajaran Islam
lengkap karena Islam agama terakhir sehingga harus mampu memecahkan berbagai
masalah besar manusia.
Islam menghalalkan umatnya berniaga. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang saudagar – sangat terpandang pada zamannya. Sejak muda
beliau dikenal sebagai pedagang jujur. “Sepanjang perjalanan sejarah, kaum
Muslimin merupakan simbol sebuah amanah dan di bidang perdagangan, mereka
berjalan di atas adab islamiah,” ungkap Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid
Nada dalam Ensiklopedi Adab Islam Menurut Alquran dan Assunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan pada umatnya untuk berdagang dengan menjunjung
tinggi etika keislaman. Dalam beraktivitas ekonomi, umat Islam dilarang
melakukan tindakan bathil. Namun harus melakukan kegiatan
ekonomi yang dilakukan saling ridho, sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa: 29)
Berdasarkan ayat tersebut, Islam sangat mendorong umatnya untuk
menjadi seorang pedagang. Berdagang penting dalam Islam. Begitu pentingnya,
hingga Allah Subhanahu
wa ta’ala menunjuk Muhammad sebagai seorang pedagang
sangat sukses sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Ini menunjukkan Allah Subhanahu
wa ta’ala mengajarkan dengan kejujuran yang dilakukan
oleh Muhammad bin Abdullah saat beliau menjadi pedagang bahwa dagangnya tidak
merugi, namun malah menjadikan beliau pengusaha sukses. Oleh karena itu, umat
Islam (khususnya pedagang) hendaknya mencontoh beliau saat beliau berdagang.
Petunjuk Umum Al-Quran Mengenai Pemasaran dan
Penjualan
Dalam Islam, pemasaran adalah disipilin bisnis strategi yang
mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan values dari satu inisiator
kepada stakeholder-nya. Menurut prinsip syariah,
kegiatan pemasaran harus dilandasi semangat beribadah kepada Tuhan
Sang Maha Pencipta, berusaha semaksimal mungkin untuk kesejahteraan bersama,
bukan untuk kepentingan golongan apalagi kepentingan sendiri.
Al-Quran juga mengatur kegiatan kehidupan atau muamalah. Juga
etika perdagangan, penjualan atau pemasaran. Salah satu ayat Al-Quran yang
dipedomani sebagai etika marketing adalah QS. Al-Baqarah.
Surat kedua dalam Al-Quran ini terdiri atas 286 ayat,
6.221 kata dan 25.500 huruf, dan tergolong surat Madaniyah. Sebagian besar ayat dalam surat ini diturunkan pada
permulaan hijrah, kecuali ayat 281 yang diturunkan di Mina saat peristiwa Haji Wada’. Surat ini yang terpanjang dalam Al-Quran. Dinamakan Al-Baqarah yang artinya sapi
betina karena di dalamnya terdapat kisah penyembelihan sapi betina
yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67-74). Surat ini juga dinamakan Fustatul Qur’an (Puncak Al-Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak
disebutkan dalam surat yang lain. Dinamakan juga surat Alif Lam
Mim karena dimulai dengan huruf Arab Alif Lam dan
Mim. Ayat 1-2 Al-Baqarah berarti: “Kitab ini (Al-Quran)
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Ayat tersebut sangat relevan untuk dipedomani dalam pelaksanaan
tugas marketing, sebab marketing merupakan bagian sangat penting
dari mesin perusahaan. Dari ayat tersebut dapat kita ketahui pula,
pertama, perusahaan harus dapat menjamin produknya. Jaminan yang dimaksud
mencakup dua aspek – material, yaitu mutu bahan, mutu pengolahan, dan mutu
penyajian; aspek non-material mencakup kehalalan dan keislaman dalam penyajian.
Kedua, yang dijelaskan Allah adalah manfaat produk. Produk bermanfaat
apabila proses produksinya benar dan baik. Ada pun metode yang dapat digunakan
agar proses produksi benar dan baik, menurut Al-Quran, sesuai petunjuk dalam
QS. Al-An’am: 143, yang artinya, “Beritahukanlah kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika
kamu memang orang-orang yang benar.” Ayat ini mengajarkan kepada
kita, untuk meyakinkan seseorang terhadap kebaikan haruslah berdasarkan ilmu
pengetahuan, data, dan fakta. Jadi, dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya
peranan data dan fakta sangat penting. Bahkan sering data dan fakta jauh lebih
berpengaruh dibanding penjelasan.
Ketiga, penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang dimiliki oleh
perusahaan. Makanan yang halal dan baik yang menjadi darah dan daging manusia
akan membuat kita menjadi taat kepada Allah. Sebab konsumsi yang dapat
menghantarkan manusia kepada ketakwaan harus memenuhi tiga syarat: (1) Materi
yang halal, (b) Proses pengolahan yang bersih (thaharah), dan (3) Penyajian yang islami.
Etika Pemasaran dalam Islam
Dewasa ini sering kita jumpai cara pemasaran yang tidak etis,
curang dan tidak professional. Kiranya perlu dikaji bagaimana akhlak kita dalam
kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Atau lebih khusus lagi akhlak dalam
pemasaran kepada masyarakat dari sudut pandangan Islam. Kegiatan pemasaran
seharusnya dikembalikan pada karakteristik yang sebenarnya. Yakni religius,
beretika, realistis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang
dinamakan marketing syariah, dan inilah konsep terbaikmarketing untuk hari ini dan masa depan.
Prinsip marketing yang berakhlak seharusnya kita terapkan. Apalagi nilai-nilai
akhlak, moral dan etika sudah diabaikan. Sangat dikhawatirkan bila menjadi
kultur masyarakat. Perpektif pemasaran dalam Islam adalah ekonomi Rabbani (divinity), realistis, humanis dan
keseimbangan. Inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi
konvensional. Marketing menurut Islam memiliki nilai
dan karakteristik yang menarik. Pemasaran syariah meyakini, perbuatan seseorang
akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Selain itu, marketing syariah mengutamakan nilai-nilai akhlak dan etika moral dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, marketing syariah menjadi penting bagi para tenaga pemasaran untuk melakukan
penetrasi pasar.
Dalam Islam terdapat sembilan macam etika (akhlak) yang harus
dimiliki seorang tenaga pemasaran. Yaitu: (1) Memiliki kepribadian spiritual (taqwa); (2) Berkepribadian baik dan simpatik (shiddiq); (3) Berlaku adil dalam berbisnis (al-’adl); (4) Melayani nasabah dengan rendah hati (khitmah); (5) Selalu menepati janji dan tidak curang (tahfif); (6) Jujur dan terpercaya (amanah); (7) Tidak suka berburuk sangka; (8) Tidak suka
menjelek-jelekkan; dan (9) Tidak melakukan suap (risywah).
Selain sembilan etika tersebut, marketer syariah harus menghindari
hal-hal sebagai berikut: (1) Tidak adil dalam penentuan tarif dan uang
pertanggungan; (2) Melakukan transaksi terhadap produk yang mengandung unsur
maisar, gharar, dan riba
maisar; transaksi tadlis; (3) Khianat atau tidak menepati janji; (4) Menimbun barang untuk
menaikkan harga; (5) Menjual barang hasil curian dan korupsi; (6) Sering
melakukan sumpah palsu atau sering berdusta; (7) Melakukan penekanan dan
pemaksaan terhadap pelanggan; (8) Mempermainkan harga; (9) Mematikan pedagang
kecil; (10) Melakukan monopoli’s rent seeking atau ikhtikar; (11) Tallaqi rukban; (12) Melakukan suap atau sogok untuk melancarkan kegiatan bisnis
(riswah); dan (13) Melakukan tindakan korupsi
ataupun money laundry.
Jika para pemasar menjalankan aktivitas pemasaran yang
diperintahkan dan meninggalkan larangan yang dilarang, pemasaran tersebut
menjadi suatu aktivitas diperbolehkan dalam Islam. Oleh karena itu, dalam
perspektif syariah pemasaran adalah segala aktivitas yang dijalankan dalam kegiatan bisnis
berbentuk kegiatan penciptaan nilai (value creating activities) yang
memungkinkan siapa pun yang melakukannya bertumbuh serta mendayagunakan
kemanfaatannya yang dilandasi atas kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan
keikhlasan sesuai dengan proses yang berprinsip pada akad bermuamalah
islami atau perjanjian transaksi bisnis dalam Islam.
Strategi Pemasaran dalam Islam
Semua aktivitas kehidupan perlu dilakukan berdasarkan perencanaan
yang baik. Islam agama yang memberikan sintesis dan rencana yang dapat
direalisasikan melalui rangsangan dan bimbingan. Perencanaan tidak lain
memanfaatkan “karunia Allah” secara sistematik untuk mencapai tujuan tertentu,
dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat dan nilai kehidupan yang berubah-ubah.
Dalam arti lebih luas, perencanaan menyangkut persiapan menyusun rancangan
untuk setiap kegiatan ekonomi. Konsep modern tentang perencanaan, yang harus
dipahami dalam arti terbatas, diakui dalam Islam. Karena perencanaan seperti
itu mencakup
pemanfaatan sumber yang disediakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sebaik-baiknya untuk kehidupan dan kesenangan manusia.
Meski belum diperoleh bukti adanya sesuatu pembahasan sistematik
tentang masalah tersebut, namun berbagai perintah dalam Al-Quran dan Sunnah
menegaskannya. Dalam Al-Quran tercantum: QS. Al-Jumu‘ah: 10, yang artinya, “Apabila telah ditunaikan sembahyang maka
bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Berdasarkan ayat ini dapat dijelaskan makna dalam kata “carilah
karunia Allah” yang digunakan di dalamnya dimaksudkan untuk segala usaha halal
yang melibatkan orang untuk memenuhi kebutuhannya.
Di samping itu, pelaksanaan rencana pemasaran dalam Islam, kita
tergantung pada prinsip syarikat (kerjasama) yang telah diakui secara
universal. Hal ini berarti pelaksanaan perencanaan dilaksanakan melalui
partisipasi sektor pemerintah dan swasta atas dasar kemitraan. Yakni terlaksana
melalui prinsip abadi mudharabah, yakni tenaga kerja dan pemilik
modal dapat disatukan sebagai mitra. Dalam arti, dengan mempraktekkan prinsip mudharabah dan dengan mengkombinasikan berbagai unit produksi, proyek
industri, perdagangan dan pertanian dalam kerangka perencanaan dapat diterapkan
atas dasar prinsip tersebut. Pendapatan yang dihasilkan oleh usaha seperti itu
dapat dibagi secara sebanding setelah dikurangi segala pengeluaran yang sah.
Dalam sistem perencanaan Islam, kemungkinan rugi sangat kecil
karena merupakan hasil kerjasama antara sektor pemerintahan dan swasta.
Investasi yang sehat akan mendorong kelancaran arus kemajuan ekonomi menjadi
lebih banyak. Dalam kegiatan pemasaran, tentu lebih dahulu menyusun perencanaan
strategis untuk memberi arah terhadap kegiatan perusahaan yang menyeluruh, yang
harus didukung rencana pelaksanaan lebih rinci di bidang-bidang kegiatan
perusahaan. Dalam Islam, bukanlah suatu larangan bila seorang hamba mempunyai
rencana atau keinginan untuk berhasil dalam usahanya. Namun dengan syarat,
rencana itu tidak bertentangan dengan ajaran (syariat) Islam. Ditandaskan dalam
Al-Quran, yang artinya, “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang
diciptakannya? Tidak, maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan
dunia.” (QS. An-Najm: 24-25)
Dari kedua ayat tersebut, bila dihubungkan dengan strategi
pemasaran, kegiatan strategi (rencana) pemasaran merupakan suatu interaksi yang
berusaha untuk menciptakan atau mencapai sasaran pemasaran seperti yang
diharapkan untuk mencapai keberhasilan. Dan sudah menjadi sunnatullah bahwa apa
pun yang sudah kita rencanakan, berhasil atau tidaknya, ada pada ketentuan
Tuhan (Allah). Dalam pelaksanaan suatu perencanaan dalam Islam haruslah
bergerak ke arah suatu sintesis yang wajar antara pertumbuhan ekonomi dan
keadilan sosial melalui penetapan kebijaksanaan yang pragmatik, namun konsisten
dengan jiwa Islam yang tidak terlepas dengan tuntunan Al-Quran dan Hadis, juga
sesuai dengan kode etik ekonomi Islam.
Selain itu, dalam kegiatan perdagangan (muamalah), Islam melarang
adanya unsur manipulasi (penipuan), sebagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Jauhkanlah
dirimu dari banyak bersumpah dalam penjualan, karena sesungguhnya ía
memanipulasi (iklan dagang) kemudian menghilangkan keberkahan. ”(HR. Muslim, An-Nasa’i dan lbnu Majah). Islam menganjurkan
umatnya untuk memasarkan atau mempromosikan produk dan menetapkan harga yang
tidak berbohong, alias harus berkata jujur (benar). Oleh sebab itu, salah satu
karakter berdagang yang terpenting dan diridhoi oleh Allah Subhanahu
wa ta’ala adalah kebenaran. Sebagaimana dituangkan dalam
hadis: “Pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para
nabi, orang-orang benar (siddiqin), dan
para syuhada di surga.” (HR. Turmudzi).
Pada dasarnya ada tiga unsur etika yang harus dilaksanakan oleh
seorang produsen Muslim. Yakni bersifat jujur, amanat dan nasihat. Jujur
artinya tidak ada unsur penipuan. Misal dalam promosi/harga. Amanat dan nasihat
bahwa seorang produsen dipercaya memberi yang terbaik dalam produksinya,
sehingga membawa kebaikan dalam penggunaannya.
Saat ini semakin banyak masyarakat dunia yang sadar tentang
kegiatan bermuamalah secara Islam. Salah satu buktinya adalah pesatnya
perkembangan minat masyarakat dunia terhadap ekonomi Islam dalam dua dekade
terakhir, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia juga
mengalami hal yang sama. Hal ini dibuktikan dengan semakin bermunculan berbagai
produk syariah (Islam). Saat ini perkembangan yang menyolok adalah produk yang
bersentuhan dengan bidang lembaga keuangan. Namun pesatnya perkembangan produk
ekonomi Islam belum bisa diimbangi oleh pesatnya perkembangan dari sisi
keilmuan yang lebih luas. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, akan
terjadi ketimpangan perkembangan ekonomi Islam ke depan. Untuk itu pengembangan
ekonomi Islam dari sisi keilmuan menjadi hal mutlak, untuk menjadi penyeimbang
pesatnya perkembangan yang terjadi saat ini.
Pemasaran adalah suatu aktivitas yang selalu dikaitkan dengan
perdagangan. Jika meneladani Rasulullah saat melakukan perdagangan, maka beliau
sangat mengedepankan adab dan etika dagang yang luar biasa. Etika dan adab
perdagangan inilah yang dapat disebut sebagai strategi dalam berdagang. Oleh
karena itu, Seykh Sayyid Nada membeberkan sejumlah adab yang harus dijunjung pedagang
Muslim dalam menjalankan aktivitas jual-eli, berdasarkan hadis-hadis
Rasulullah, sebagai berikut:
Tidak menjual sesuatu yang haram. Umat Islam dilarang menjual
sesuatu yang haram seperti minuman keras dan memabukkan, narkotika dan
barang-barang yang diharamkan Allah Subhanahu wa ta’ala. “Hasil penjualan
barang-barang itu hukumnya haram dan kotor,”
Tidak melakukan sistem perdagangan terlarang. Contohnya menjual
yang tidak dimiliki. Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.”
(HR Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i). Selain itu Islam juga melarang umatnya menjual
buah-buahan yang belum jelas hasilnya serta sistem perdagangan terlarang
lainnya.Tidak terlalu banyak mengambil untung. Tidak membiasakan bersumpah ketika berdagang. Hal ini sesuai
dengan hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian banyak bersumpah ketika
berdagang, sebab cara seperti itu melariskan dagangan lalu menghilangkan
keberkahannya.” (HR Muslim)
Tidak berbohong ketika berdagang. Salah satu perbuatan berbohong
adalah menjual barang yang cacat namun tidak diberitahukan kepada pembelinya.
Penjual harus melebihkan timbangan. Seorang pedagang sangat
dilarang mengurangi timbangan.
Pemaaf, mempermudah dan lemah lembut dalam berjual beli.
Tidak boleh memakan dan memonopoli barang dagangan tertentu. Sabda
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seorang menimbun barang
melainkan pelaku maksiat.” (HR Muslim).
Lantas, bagaimana dengan sistem pemasaran? Tentu punya strategi.
Strategi pemasaran sebenarnya dapat dijelaskan sebagai cara melakukan
segmentasi pasar dan tempat pembidikan pasar, strategi produk, strategi harga,
tempat dan strategi promosi. Pasar yang menonjol pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pasar konsumen. Berikut penjabarannya.
Segmentasi pasar dan pembidikan pasar. Terdiri atas segmentasi
geografis, demografis, psikografi; segmentasi perilaku dan segmentasi manfaat.
Segmentasi geografis membagi pasar menjadi unit-unit geografis berbeda. Misal
wilayah, negara, provinsi, kota, kepulauan dan berdasarkan musim. Allah
berfirman, yang artinya, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy
(yaitu) kebiasaan mereka bepergian (berdagang) pada musim dingin dan musim
panas.” (QS. Al-Quraisy: 1-2). Pada musim panas biasanya mereka berdagang
sampai Busra (Syria). Pada musim dingin mereka berdagang sampai Yaman. Demikian
pula yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terutama sebelum pada masa kenabian. Pasar yang terkenal pada
masa jahiliyah yang terletak di utara kota Mekkah meliputi Busra, Dumatul
Jandal dan Nazat. Pasar yang terletak di Selatan kota Mekkah mencakup Mina,
Majinna, Ukaz, San’a, Aden, Shihr, Rabiyah, Sohar dan Doba. Sedangkan pasar
yang di Timur kota Mekkah terdiri dari Musyaqqar, Sofa dan Hijar.
Segmentasi demografi yang dilakukan Muhammad adalah
pasar yang dikelompokkan berdasarkan keluarga, kewarganegaraan dan kelas
sosial. Untuk keluarga, Muhammad menyediakan produk peralatan rumah tangga.
Sedangkan produk yang dijual Nabi untuk warga negara asing di Busra terdiri
dari kismis, parfum, kurma kering, barang tenunan, batangan perak dan ramuan.
Segmentasi psikografi yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah mengelompokkan pasar
dalam gaya hidup, nilai dan kepribadian. Gaya hidup ditunjukkan oleh orang yang
menonjol daripada kelas sosial. Minat terhadap suatu produk dipengaruhi oleh
gaya hidup, maka barang yang dibeli oleh orang-orang tersebut untuk menunjukkan
gaya hidupnya. Nabi mengetahui kebiasaan orang Bahrain, cara hidup penduduknya,
mereka minum dan cara mereka makan.
Segmentasi perilaku yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah dengan membagi kelompok
berdasarkan status pemakai, kejadian, tingkat penggunaan, status kesetiaan,
tahap kesiapan pembeli dan sikap.
Pasar dikelompokkan menjadi bukan pemakai, bekas pemakai, pemakai
potensial, pemakai pertama kali dan pemakai tetap dari suatu produk,atau
manfaat yang terkandung dalam suatu produk.
Berangkat dari kajian sebelumnya, kiranya perlu kajian mendalam
terkait dengan bagaimana seharusnya aktivitas pemasaran dapat dibenarkan oleh
syariah atau kita memformulasikan konsep pemasaran syariah secara benar. Kajian
tentang pemasaran syariah belum banyak dilakukan. Di sisi lain, lembaga berbasis
syariah dan produk sudah berkembang dan beredar di sekitar kita. Di sisi lain,
kondisi masyarakat dalam mensikapi lahirnya dan beroperasinya lembaga syariah
dapat dikelompokkan ke dalam masyarakat yang mengedepankan pada emosional
keagamaan dan masyarakat yang mengedepankan rasional ekonomi.
Oleh karena itu, dari titik tolak yang terjadi ini, perlu
dilakukan kajian tentang – kalau meminjam istilah pemasaran konvensional –
konsep marketing
mix yang sesuai dengan tuntunan syariah. Dengan kata lain, konsep marketing
mix ini akan dianalisis dan dikaji secara mendetail dengan menggunakan
rujukan dari Al-Quran, Al-Hadis, ijma’ dan qiyas. Dengan harapan hasilnya dapat
ditemukan konsep marketing mix berdasarkan tuntunan
ajaran Islam.
Pengertian marketing mix is the set of marketing tools that the firm uses to
pursuit its marketing objectives in the target market”. Oleh karena dalam menggagas bisnis islami haruslah
memperhatikan implementasi syariat pada marketing mix. Implementasi syariat dapat diterapkan dalam
variabel-variabel marketing mix yakni product, price, place, dan promotion.
Berdasar pembahasan kajian di atas pemasaran dalam Islam, penulis
berkesimpulan, konsep pemasaran, yang dalam hal ini difokuskan pada
tinjauan marketing
mix, sebenarnya
telah ada sejak lebih dari 1.400 tahun lalu. Penemuan-penemuan ahli pemasaran
dunia tentang konsep marketing mix seperti Neil Borden pada 1953, Rasmussen (1955), McCharthy
(1960) dan Kotler (1967), sebenarnya sudah dipraktekkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat dan tabi’in sejak ribuan tahun lalu. Namun memang jarang bahkan mungkin belum
ada yang mendefinisikan itu sebagai konsep marketing mix.
Di dalam konsep marketing mix islami ternyata didapat bahwasannya dalam melakukan suatu
pemasaran, baik barang maupun jasa, tidaklah bebas nilai. Sebagai seorang
khalifah di muka bumi, manusia juga dituntut untuk menjaga kesejahteraan
masyarakat secara umum, dengan berdagang menggunakan cara yang halal dan diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kajian lanjutan dapat
dilakukan dengan mengkaji lebih dalam dan lebih luas lagi tentang manajemen
pemasaran dalam Islam. Sehingga nantinya akan didapat suatu konsep manajemen
pemasaran syariah yang kompleks dan komprehensif, yang nantinya dapat digunakan
untuk memperkaya khasanah manajemen pemasaran syariah.
Berkaitan dengan bauran pemasaran konvensional, maka penerapan
dalam syariah akan merujuk pada konsep dasar kaidah fikih. Yakni: Al-ashlu fil-muamalah al-ibahah illa
ayyadulla dalilun ’ala tahrimiha, yang artinya, “Pada dasarnya
semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” (PM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar