A. Pengertian
Wadi’ah(الوديعة)
Syaikh Ibrahim Al bajuri
dalam kitab Albajuri ala Ibn
Qosim jilid 2. menyatakan bahwa wadi’ah
(titipan) merupakan timbangan kata dari wazan فعيلة(kata aktif) yang
bermakna مفعولة (kata pasif), Jika
wadi’ah berasal dari kata ودع bermakna ترك (meninggalkan),
karna wadi’ah ditinggalkan pada orang
yang dititipi.
Wadi’ah juga bermakna فاعلة jika berasal dari kata ودع bermakna سكن (diam,tinggal),
sebab wadi’ah diam pada orang yang dititipi. Ada keterangan mengatakan, wadi’ah
boleh dianggap pecahan dari kata الدعة dengan makna الراحة (tenang,aman),
dikarenakan wadi’ah aman di bawah penguasaan وديع (orang yang
dititipi).
Di dalam kitab I’anatuththolibin
juz 3. dijelaskan bahwa arti wadi’ah
secara etimologi adalah :
ما وضع عند غير
ما لكه لحفظه
Wadi’ah adalah meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dijaga. Sedangkan dalam kitab Anwarul
Masalik wadi’ah didefinisikan dengan makna
yang sama hanya berbeda
redaksi saja yaitu :
المال الموضوع عند الغير ليحفظ
Wadi’ah
adalah harta yang diletakkan pada orang lain untuk
dijaga. Demikian juga dalam kitab
Kifayatul Akhyar wadi’ah secara etimologi diartikan sebagai berikut :
إسم لعين يضعها مالكها أو نائبه عند اخر
ليحفظها
Wadi’ah
adalah barang yang di
letakkan oleh pemilik maupun wakilnya
pada orang lain untuk dijaga. Arti wadi’ah secara bahasa
juga dijelaskan dalam kitab Fathul Qorib
dengan redaksi berbeda namun substansinya
sama yakni :
الشيء المودوع عند غير صاحبه للحفظ
Wadi’ah
adalah sesuatu yang ditinggalkan pada orang yang bukan pemiliknya untuk dijaga.
Sedangkan
wadi’ah secara terminologi
berdasarkan
keterangan yang ada dalam kitab I’anatuththolibin juz 3 dan Albajuri
ala Ibn Qosim jilid 2 dengan redaksi sama dalam kedua kitab tersebut, adalah
:
هي العقد المقتضي للإ ستحفا ظ أي
الصيغة المقتضية لطلب الحفظ
Wadi’ah adalah
akad yang dilakukan untuk tujuan memelihara
barang yang diminta untuk dijaga. yakni shigat yang menghendaki adanya
permintaan penjagaan terhadap suatu barang. Dalam kitab Anwarul
Masalik diterangkan defenisi wadi’ah secara
istilah sebagai berikut :
الإيداع شرعا هو التوكيل الخاص في حفظ المال
Wadi’ah adalah
perwakilan khusus dari
pemilik harta kepada orang yang di titipi dalam menjaga hartanya.
Pentahqiq kitab Kifayatul Akhyar fi halli goyatil ikhtishor Syaikh
Kamil Muhammad mendefenisikan wadi’ah
secara terminologi dengan ungkapan :
الوديعة ما يودع – أى يترك – من مال و غيره لدى من يحفظه ليرده إلى
مودعه متى تطلبه والوديعة مشروعة با لكتاب و السنة إنشاء الله
Wadi’ah adalah sesuatu
yang dititp (ditinggalkan) berupa harta atau yang lainnya pada orang yang mau menjaganya untuk
dikembalikan kepada pemiliknya kapanpun diminta, dan wadi’ah di syari’atkan oleh Al Qur’an dan Al Hadits.
Dari beberapa defenisi diatas
dapat disimpulkan bahwa
wadi’ah merupakan pemberian
kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau
barangnya sebagai titipan
murni dari satu
pihak ke pihak lain yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si mudik
(penitip) menghendaki.
B.
LANDASAN
HUKUM WADI’AH
Ada dua Landasan hukum yang menjadi pondasi utama untuk menopang
kokohnya hukum wadi’ah dalam aplikasi sehari-hari sebagaimana di paparkan dalam
beberapa kitab diantaranya, I’anatuththolibin
juz 3, Kifayatul Akhyar, At tadzhib fi
adillah matnil goyah wat taqrib,Ghoyatul Bayan syarh Zubad Ibn Ruslan dan Albajuri ala Ibni Qosim jilid 2, yaitu :
Yang pertama : Al Qur’an
a)
Dalam
QS. Al Baqoroh ayat 283.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
:
فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي أؤتمن أما نته وليتق الله ربه
Artinya : Jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.
b)
Dalam
QS. An Nisa’ ayat 58.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
:
إن
الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها
Artinya : sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya.
Syaikh Ibrahim Albajuri
dalam Albajuri ala Ibn Qosim jilid 2. menerangkan bahwa Dalam ayat ini
Allah memerintahkan setiap orang yang dititipi amanah untuk mengembalikan amanah itu kepada
pemiliknya (orang yang berhak) kapanpun diminta. Menurut para mufassir
ayat ini meskipun turun berkenaan dengan kunci ka’bah namun maknanya umum
(menyeluruh), karena konteks ayatnya di ungkapkan dengan
lafadz umum, tidak dengan sebab yang khusus.
Yang
kedua : Al Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda :
عن أبي هريرة قال
النبي صلي الله عليه و سلم أد الأمانة إلي من ائتمنك ولا تخن من خانك
Artinya : tunaikanlah amanat kepada orang
yang mempercayaimu dan jangn khianati orang yang telah mengkhianatimu. (H.R.
Abu Daud dan Turmudzi dari Abu Hurairah
dalam bab buyu’).
C.
RUKUN
WADI’AH
Syaikh sayyid
Abi Bakar dalam kitab
beliau Ianatuththolibin juz 3 hasyiah dari kitab Fathul
Mu’in menerangkan bahwa rukun wadi’ah masuk dalam makna
akad. Hal yang
sama juga di paparkan
oleh Syaikh Ibrahim Albajuri dalam kitab beliau Albajuri jilid 2 hasyiah dari kitab Fathul
Qorib. bahwa rukun wadi’ah dengan makna الإيداع (titipan) adalah
masuk dalam arti akad.
Hal ini dikarenakan hakikat dari akad
wadi’ah adalah توكيل
(menunjuk wakil)
dari pihak مودع
( si penitip
) dan توكل (menjadi wakil) dari pihak مودع (yang dititpi), sebab wadi’ah adalah meminta
seseorang menjadi wakil dalam
menjaga harta.
Menurut penjelasan Para Ulama’ fiqih dalam beberapa literatur, seperti dalam
kitab goyatul bayan syarh
matni zubad Ibn Ruslan, Albajuri jilid 2, dan I’anatuththolibin juz 3.
Kesemua kitab ini memaparkan bahwa rukun wadi’ah itu ada empat, yaitu :
1. وديعة (barng
yang dititipkan)
Syarat wadi’ah (barang titipan) adalah
harus berupa harta yang terhormat (bermanfaat), dan dianggap baik oleh
syara’.
2. مودع (orang yang menitip).
Syarat
mudik sama seperti syarat yang
ada berlaku pada موكل dan وكيل
yaitu sama-sama pada levelإطلاق التصرف (mampu
atau sah dalam melakukan transaksi), seperti baligh, berakal dan dewasa.
3. وديع/مودع (orang yang dititpi).
Syarat
dari wadik sama dengan syarat pada mudik diatas. Bahkan ada keterangan dalam kitab Anwarul Masalik menyatakan, wadi’ah tidak sah
dilakukan kecuali dari orang yang boleh/sah melakukan transaksi kepada orang
yang boleh/sah melakukan transaksi juga. Seandainya ada anak
kecil atau orang dungu menitip sesuatu pada orang dewasa maka tidak
boleh diterima titipan tersebut.
4.
صيغة(Ijab dan Qabul).
Sebagaimana
dijelaskan dalam Albajuri jilid 2 syarat dari shigat dalam وديعة sama dengan syarat yang ada dalam الوكالة yakni
pengucapan lafadz dari salah seorang pihak sedang
pihak yang lain tidak menolak ucapan pihak pertama.
Dalam ghoyatul bayan syarh
Zubad Ibn Ruslan diterangkan potensi seseorang untuk menjaga titipan merupakan hal yang harus diutamakan karna wadi’ah termasuk dalam wilayah tolong menolong
dalam kebaikan dan berdasarkan taqwa kepada apa yang diperintahkan.
D.
HUKUM
MENERIMA WADI’AH
Syaikh
Muhammad Azzuhri Alghamrawi dalam kitab Anwarul Masalik syarah dari kitab
Umdatus Saalik Wa
Uddatun Naasik karya Imam
syihabuddin Ahmad Ibn Naqib Asy syafi’i, beliau menerangkan tentang setatus
hukum wadi’ah berkisar pada lima hukum utama, diantaranya :
Ø Haram
Bagi orang yang
tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerima wadi’ah.
Ø Makruh
Bagi orang yang
mampu menjaga, namun tidak percaya kepada dirinya sendiri. Dan dia khawatir
berkhianat (tidak bisa bertanggung jawab) di makruhkan baginya menerima
wadi’ah.
Ø Sunnah
Jika seorang
percaya terhadap dirinya sendiri dan tidak khawatir akan berkhinat dalam
menjaga titipan, maka sunnah baginya menerima wadi’ah, meskipun disitu ada
orang lain.
Ø Wajib
Jika di suatu
tempat tidak ada orang lain selain dia saja dan mampu untuk menjaga titpan maka
wajib menerima wadi’ah.
Hal serupa juga di jelaskan oleh Imam
Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad Alhusaini Alhishni AdDimasqi Asy-Syafi’i dalam
kitab Kifayatul Akhyar fi halli ghoyatil ikhtishor, beliau
berkata sudah lumrah bahwa kebutuhan ataupun kepentingan yang sangat mendesak
mendorong seseorang untuk melakukan
aktivitas wadi’ah.
Orang yang akan diminta untuk menjaga
harta/barang harus diteliti dengan jelas, jika dia adalah orang yang amanah dan
mampu menjaga titipan serta yakin terhadap dirinya sendiri, sunnah baginya
menerima barang titpan itu. Berdasarkan sabda Rasulullah :
و
الله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه
Artinya Allah akan menolong seorang hamba,
selama ia menolong saudaranya. (H.R. Muslim dari Abi Hurairah).
Kemudian Imam Taqiyuddin
melanjutkan, Jika seorang tidak mampu menjaga titipan, haram ia menerimanya,
demikian menurut komentar Imam Rofi’i dan Imam Nawawi. Sedang Ibnu
Rif’ah mengaitkan keharaman orang yang tidak mampu menjaga barang untuk
menerima titipan itu dengan kondisi yang tidak diketahui oleh pemilik barang
bahwa dia tidak mampu, tapi bila si pemilik harta/barang mengetahui keadaannya maka tidak
haram baginya untuk menerima titipan dan memang inilah hukum yang sudah jelas.
Di akhir penjelasan beliau dalam masalah hukum menerima wadi’ah, beliau
mengutarakan satu kasus yaitu, bagaimana dengan orang yang mampu menjaga
titipan namun tidak percaya terhadap diri sendiri dengan amanah yang akan
diemban apakah dia haram menerimanya? Dalam masalah ini ada dua pendapat: pertama,
menerima atau menolak titipan tidak ada yang
dikuatkan baik dalam syarah maupun kitab Raudhah. Kedua, secara
pasti hukumnya makruh.
E.
KEDUDUKAN
WADI’AH DAN BENTUK APLIKASINYA
a.
Kedudukan
Wadi’ah
Di jelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid
karangan Ibnu Rusyd Al Hafid bahwa para fuqoha’ sepakat wadi’ah adalah amanah bukan madhmunah
(tanggungan). Hal serupa juga termuat dalam kitab Kifayatul Akhyar dan Fathul
Qorib dengan redaksi yang sama bahwa wadi’ah itu adalah amanah.
والوديعة
أمانة و يستحب قبولها لمن قام بالأمانة فيها
Wadi’ah adalah amanah dan di anjurkan menerimanya bagi orang mampu
melaksanakan amanah padanya.
Syaikh Muhammad Ibn Abdirrahman Asy-syafi’i menerangkan dalam kitab beliau Rahmatul
Ummah Fi ikhtilafi A’immah bahwa wadi’ah adalah amanah murni, tidak ada kewajiban dari si wadik untuk menanggung
atas wadi’ah kecuali dengan sebab ceroboh. Dan para imam sepakat wadi’ah
termasuk ibadah yang di sunnahkan, berpahala dalam menjaganya. Ulama’ malikiyah
memberikan komentar, argumen yang membuktikan bahwa wadi’ah itu amanah adalah
Allah hanya memerintah mengembalikan amanah (barang/harta) kepada yang berhak
dan tidak memerintah dengan harus ada
saksi (bukti) ketika mengembalikan, demikian
menurut keterangan dalam kitab Bidayatul mujtahid karya Ibnu Rusyd.
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, penyusun berkesimpulan sesungguhnya kedudukan wadi’ah yang ada pada
kekuasaan wadik hanya sebatas amanah yang harus dijaga bukan dhomanah yang akan
menjadi tanggunggan wadik atas wadi’ah, dan si wadik tidak bisa dikenai
pertanggung jawaban atas rusaknya barang titipan kecuali atas dasar kelalaian
dan kecerobohan si wadik. Masalah ini akan kami paparkan dalam pembahsan terakhir
yakni risiko kerusakan barang titipan.
b.
Bentuk
Aplikasi Wadi’ah
Aplikasi wadi’ah diterangkan dalam kitab I’anatuththolibin juz 3.
sah menitipkan barang muhtarom (barang yang dianggap baik oleh syara’) dengan
mengucap هذا أو
إستحفظتكه أودعتك
artinya barang ini saya titipkan padamu atau saya minta penjagaan barang
ini kepadamu. Sah juga dengan mengucap خذه
artinya ambillah barang ini,
dibarengi dengan niat menitip. Ditambahkan dalam kitab Albajuri jilid 2
tidak disyaratkan adanya Qobul (ucapan setuju) dari si wadik, tapi cukup dengan
mengambil barang titipan menendakan ia setuju.
Terdapat penjelasan dalam kitab anwarul masalik mengenai
bentuk aplikasi wadi’ah diantaranya, wadi’ah harus di simpan dalam tempat yang semestinya.
Jika si wadik ingin bepergian panjang ataupun khawatir akan meninggal maka
wadi’ah harus dikembalikan kepada pemiliknya. Bila tidak menemukan pemilik
wadi’ah atau wakilnya, boleh diserahkan kepada hakim (pemerintah setempat). Jika
tidak ada Hakim, harus diserahkan ke Amin (orang yang dipercaya).
Apabila si wadik tidak melakukan hal-hal diatas kemudian meninggal
dan tidak pernah mewasiatkannya atau membawanya bepergian jauh lalu rusak maka
dia harus menanggung beban wadi’ah tersebut. Atau menyerahkan titipan kepada
Amin sedang Hakim ada, tetap si wadik menanggung beban wadi’ah.
Dalam kitab Rahmatul Ummah ditegaskan para ulama’ sepakat
kapanpun pemilik wadi’ah meminta barangnya, si wadik wajib mengembalikan
wadi’ah dalam keadaan sempurna, kalau tidak maka wajib menanggung beban atas
titipan itu.
Sama dengan penjelasan diatas dalam kitab Anwarul Masalik di
terangkan, kapanpun pemilik barang/harta meminta titipannya, wajib di
kembalikan artinya harus diserahkan dengan segera tidak boleh ditunda.
Kitab Kifayatul Akhyar memuat penjelasan tentang aplikasi
terakhir dari aktivitas wadi’ah yaitu, mengenai pengembalian barang titipan, dalam
kitab tersebut di jelaskan ucapan wadik dalam menyerahakn wadi’ah kepada
poemiliknya harus diterima. Apabila si wadik mengucapkan kata kepada si mudik
dengan lafadz “ saya kembalikan wadi’ah
ini kepada anda“ maka perkataan yang benar adalah perkataan si mudik dengan
sumpahnya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah :
فليؤد
الذي أؤتمن أمانته
“ Hendaklah
orang yang dipercaya menunaikan amanahnya keapada orang yang berhak “. (QS. Al
Baqarah 283). Dalm ayat ini Allah memrintahkan si wadik mengembalikan amanah
tanpa dibarengi bukti/saksi kepada si mudik, menunujukkan bahwa ucapan si wadik
diterima saat penyerahan amanah.
F.
RISIKO
KERUSAKAN BARANG TITIPAN (WADI’AH)
Telah
diterangkan dalam kitab Kifayatul Akhyar bahwa wadi’ah adalah amanah
pada kekuasaan si wadik, tidak ada kewajiban menanggung beban (kerugian) atas
wadi’ah bagi si wadik, karna wadi’ah sama hukumnya dengan seluruh amanah yang ada.
Memang jika si wadik ceroboh dan berlebihan dalam wadi’ah maka ia dikenakan
penanggungan beban atas wadi’ah.
Hal
serupa juga di jelaskan dalam kitab Albajuri jilid 2 bahwa wadi’ah
adalah amanah dan tidak ada kewajiban menannggung kerugian wadi’ah dari pihak
wadik, kecuali atas kecerobohan dan kelalaiannya. Dalam kitab I’anatuththolibin
juz 3 dirincikan bentuk kecerobohan dan kelalaian Si Wadik dalam menjaga
amanah yang menyebabkan ia menanggung kerugian adalah sebagai berikut :
v Si
Wadik menitipkan wadi’ah kepada orang lain, walaupun kepada hakim, tanpa seizin pemilik dan tanpa adanya udzur
seperti sakit, berpergian jauh, khawatir akan kebakaran, atau khawatir bangunan
tempat menyimpan akan roboh.
v Bila
Si Wadik menempatkan/menaruh wadi’ah di tempat yang tidak sepatutnya. Dan bila
si wadik memindhkan wadi’ah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak
sepatuttnya.
Syaikh Muhammad Ibn Abdurrahman Asy
syafi’i dalam kitab Romatul Ummah menegaskan tetang perselisihan ulama’ dalam
masalah Wadik yang memindahkan wadi’ah ketempat/orang lain tanpa ada udzur. pendapat
pertama, Abu Hanifah, Imam Malik dan Ahmad berkata bila Si Wadik menitipkan
wadi’ah kepada orang yang
wajib ia nafkahi meskipun tanpa udzur,
ia tidak dikenai tanggung jawab atas beban wadi’ah. pendapat kedua, Imam Syafi’i berkata apabila Si
Wadik menitipkan wadi’ah kepada orang lain tanpa ada udzur, harus menanggung
beban atas wadi’ah.
Keterangan yang sama juga di paparkan dalam kitab Anwarul
Masalik bahwa factor yang
menyebabkan si wadik menanggung kerugian atas wadi’ah, diantaranya : Si Wadik menitipkan wadi’ah pada orang lain
tanpa sebab berpergian jauh atau tanpa adanya dharurat,
wadi’ah dicampur dengan hartanya sendiri sehingga tidak bias dibedakan antara
hartanya dengan wadi’ah, Si Wadik menggunakan wadi’ah atau mengeluarkannya
untuk dimanfaatkan namun sia-sia, menyimpannya pada tempat yang tidak semestinya, atau Si Wadik menaruh wadi’ah
tidak pada tempat yang diinginkan oleh Si Mudik.
Termuat juga dalam kitab Kifayatul
Akhyar mengenai konsekuensi wadi’ah, yakni apabila Si Mudik meminta wadi’ahnya,
maka Si Wadik harus segera mengembalikan wadi’ah itu. Jika Si Wadik mengulurkan
waktu penyerahan setelah diminta tanpa ada udzur, kemudian barang titipan
rusak, maka Si Mudik harus menanggung kerusakan wadi’ah.
Udzur yang dimaksud disini adalah, seperti pada waktu shalat, qodho’ hajat,
sedang bersuci, atau sedang didalam kamar mandi, khawatir akan hujan, ataupun
wadi’ah berada ditempat lain, jika ke semua udzur (alasan) ini ada, boleh
menunda pengembalian wadi’ah.
Dalam Rahmatul Ummah diterangkan
panjang lebar mengenai konseksuensi wadi’ah dan pertanggungjawaban atas
rusaknya wadi’ah dikarenakan kelalaian Si Wadik atau kecerobohannya, sebagaimana yang di jelaskan oleh Qodhi Abdul
Wahhab Bahwa apabila barang yang di titip (wadi’ah) termasuk benda yang tidak
bisa ditakar maupun ditimbang seperti kendaran dan pakaian, lalu Si Wadik
mempergunakannya kemudian wadi’ah itu rusak, maka Si Wadik harus mengganti berdasarkan
nilainya (harganya), bukan dengan bentuk barang yang semisal. Karena ia telah
ceroboh dan tidak berhati-hati dalam menggunakan wadi’ah dan telah keluar dari
wilayah amanah.
Dari uraian diatas penyusun
berkesimpulan bahwa pada dasarnya
wadi’ah itu adalah amanah murni bukan dhomanah. Akad wadi’ah juga termasuk
dalam akad tolong menolong (saling mempercyai), sehingga orang yang dititpi
tidak bisa diminta pertanggung jawaban atas rusak atau hilangnya wadi’ah,
melainkan apabila rusaknya wadi’ah didasarkan atas kelalaiannya dan tidak
dijaga menurut sebagaimana mestinya.
Rasulullah bersabda :
من
أودع وديعة فلا ضمان عليه
“Siapa yang dititipi tidak berkewajiban
menjamin”.
(H.R.
Ibnu Majah).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Wadi’ah adalah
sesuatu yang dititp (ditinggalkan) berupa harta atau yang lainnya
pada orang yang mau menjaganya untuk dikembalikan kepada pemiliknya
kapanpun diminta, dan wadi’ah
di syari’aatkan oleh Al Qur’an dan Al Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar