Daftar Blog Saya

Sabtu, 28 Januari 2017

KEDUDUKAN WADI’AH DAN BENTUK APLIKASINYA




A.      Pengertian Wadi’ah(الوديعة)
Syaikh  Ibrahim  Al bajuri  dalam  kitab  Albajuri  ala  Ibn  Qosim jilid 2. menyatakan  bahwa  wadi’ah (titipan) merupakan timbangan kata dari wazan  فعيلة(kata aktif) yang bermakna مفعولة (kata pasif), Jika wadi’ah berasal  dari  kata  ودع  bermakna ترك (meninggalkan), karna  wadi’ah  ditinggalkan  pada  orang  yang  dititipi.
Wadi’ah juga  bermakna  فاعلة  jika berasal dari kata ودع   bermakna سكن (diam,tinggal), sebab wadi’ah diam pada orang yang dititipi. Ada keterangan mengatakan, wadi’ah boleh dianggap pecahan dari kata الدعة  dengan makna الراحة (tenang,aman), dikarenakan wadi’ah aman di bawah penguasaan وديع  (orang yang dititipi).
Di  dalam  kitab  I’anatuththolibin juz 3. dijelaskan bahwa arti  wadi’ah secara etimologi adalah :

ما وضع عند غير ما لكه لحفظه
Wadi’ah  adalah  meletakkan  sesuatu  pada orang lain untuk dijaga. Sedangkan  dalam  kitab  Anwarul Masalik  wadi’ah didefinisikan  dengan makna  yang sama  hanya berbeda redaksi saja yaitu :
المال الموضوع عند الغير ليحفظ
Wadi’ah  adalah  harta yang diletakkan pada orang lain untuk dijaga. Demikian  juga  dalam  kitab  Kifayatul  Akhyar  wadi’ah  secara  etimologi diartikan  sebagai  berikut :

إسم لعين يضعها مالكها أو نائبه عند اخر ليحفظها
Wadi’ah  adalah  barang  yang  di letakkan  oleh pemilik  maupun  wakilnya  pada  orang  lain  untuk  dijaga. Arti  wadi’ah  secara  bahasa juga dijelaskan dalam kitab  Fathul Qorib  dengan redaksi berbeda namun substansinya  sama  yakni :

الشيء المودوع عند غير صاحبه للحفظ
Wadi’ah adalah sesuatu yang ditinggalkan pada orang yang bukan pemiliknya untuk dijaga.
 Sedangkan  wadi’ah  secara   terminologi   berdasarkan  keterangan  yang  ada  dalam   kitab  I’anatuththolibin juz 3 dan Albajuri ala Ibn Qosim jilid 2 dengan redaksi sama dalam kedua kitab tersebut, adalah :

هي العقد المقتضي للإ ستحفا ظ أي الصيغة المقتضية لطلب الحفظ
Wadi’ah  adalah  akad  yang dilakukan untuk tujuan memelihara barang yang diminta untuk dijaga. yakni shigat yang menghendaki adanya permintaan penjagaan terhadap suatu barang.  Dalam  kitab  Anwarul Masalik   diterangkan defenisi  wadi’ah  secara  istilah  sebagai berikut :

الإيداع  شرعا هو التوكيل الخاص في حفظ المال
Wadi’ah  adalah  perwakilan  khusus  dari  pemilik harta kepada orang yang di titipi dalam menjaga hartanya.
Pentahqiq kitab Kifayatul Akhyar fi halli goyatil ikhtishor Syaikh Kamil Muhammad mendefenisikan  wadi’ah secara terminologi dengan  ungkapan :

الوديعة ما يودع – أى يترك – من مال و غيره لدى من يحفظه ليرده إلى مودعه متى تطلبه والوديعة مشروعة با لكتاب و السنة إنشاء الله
 Wadi’ah  adalah  sesuatu  yang  dititp (ditinggalkan) berupa harta atau yang  lainnya  pada orang yang mau menjaganya untuk dikembalikan kepada  pemiliknya  kapanpun  diminta, dan  wadi’ah  di syari’atkan  oleh Al Qur’an dan Al Hadits.
Dari  beberapa  defenisi  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  wadi’ah  merupakan pemberian kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya  atau  barangnya  sebagai  titipan  murni  dari  satu  pihak  ke pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si mudik  (penitip) menghendaki.

B.  LANDASAN HUKUM WADI’AH
Ada dua Landasan  hukum  yang menjadi pondasi utama untuk menopang kokohnya hukum wadi’ah dalam aplikasi sehari-hari sebagaimana di paparkan dalam beberapa kitab diantaranya,  I’anatuththolibin  juz 3, Kifayatul Akhyar, At tadzhib fi adillah matnil goyah wat taqrib,Ghoyatul Bayan syarh Zubad Ibn Ruslan dan  Albajuri ala Ibni Qosim jilid 2, yaitu :
Yang pertama : Al Qur’an
a)      Dalam QS. Al Baqoroh ayat 283.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي أؤتمن أما نته وليتق الله ربه  
Artinya : Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.
b)      Dalam QS. An Nisa’ ayat 58.
Allah Subhanahu Wa  Ta’ala  berfirman :

إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها
Artinya : sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya.
Syaikh Ibrahim Albajuri dalam Albajuri ala Ibn Qosim jilid 2. menerangkan bahwa Dalam ayat ini Allah memerintahkan setiap orang yang  dititipi  amanah  untuk mengembalikan amanah itu kepada pemiliknya (orang yang berhak) kapanpun diminta. Menurut para mufassir ayat ini meskipun turun berkenaan dengan kunci ka’bah namun maknanya umum (menyeluruh), karena  konteks  ayatnya  di ungkapkan  dengan  lafadz umum, tidak dengan  sebab  yang  khusus.
Yang kedua : Al Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

عن أبي هريرة قال النبي صلي الله عليه و سلم أد الأمانة إلي من ائتمنك ولا تخن من خانك
Artinya : tunaikanlah amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangn khianati orang yang telah mengkhianatimu. (H.R. Abu Daud  dan Turmudzi  dari  Abu  Hurairah  dalam  bab buyu’).

C.  RUKUN WADI’AH
Syaikh  sayyid  Abi  Bakar  dalam kitab beliau Ianatuththolibin juz 3 hasyiah  dari  kitab  Fathul Mu’in menerangkan bahwa  rukun  wadi’ah  masuk  dalam  makna  akad. Hal  yang  sama  juga di  paparkan  oleh  Syaikh  Ibrahim Albajuri dalam kitab beliau  Albajuri jilid 2 hasyiah dari kitab Fathul Qorib. bahwa rukun  wadi’ah  dengan  makna  الإيداع (titipan) adalah masuk dalam arti akad.
Hal ini dikarenakan hakikat dari akad wadi’ah  adalah توكيل   (menunjuk wakil)  dari   pihak  مودع   ( si  penitip ) dan  توكل  (menjadi wakil)  dari  pihak  مودع  (yang dititpi),  sebab wadi’ah  adalah  meminta  seseorang  menjadi  wakil  dalam  menjaga harta.
Menurut  penjelasan Para Ulama’ fiqih  dalam beberapa literatur, seperti  dalam  kitab goyatul bayan  syarh matni zubad Ibn Ruslan, Albajuri jilid 2, dan I’anatuththolibin juz 3. Kesemua kitab ini memaparkan bahwa rukun wadi’ah itu ada empat, yaitu :
1.   وديعة  (barng yang dititipkan)
Syarat  wadi’ah  (barang titipan)  adalah  harus berupa harta yang terhormat (bermanfaat), dan dianggap baik oleh syara’.
2.      مودع (orang yang menitip).
Syarat mudik sama  seperti  syarat yang  ada  berlaku  pada موكل dan وكيل yaitu sama-sama pada levelإطلاق التصرف  (mampu atau sah dalam melakukan transaksi), seperti baligh, berakal dan  dewasa.
3.      وديع/مودع (orang yang dititpi).
Syarat dari wadik sama dengan syarat pada mudik diatas. Bahkan  ada keterangan dalam  kitab Anwarul Masalik  menyatakan, wadi’ah tidak sah dilakukan kecuali dari orang yang boleh/sah melakukan transaksi kepada orang yang boleh/sah melakukan transaksi juga. Seandainya ada  anak  kecil atau orang dungu menitip sesuatu pada orang dewasa maka tidak boleh diterima titipan tersebut.
4.       صيغة(Ijab dan Qabul).
Sebagaimana dijelaskan dalam Albajuri jilid 2 syarat dari shigat dalam وديعة sama dengan syarat yang ada dalam الوكالة  yakni pengucapan lafadz dari salah  seorang  pihak  sedang pihak yang lain tidak menolak ucapan pihak pertama.
Dalam  ghoyatul bayan syarh Zubad Ibn Ruslan diterangkan potensi seseorang  untuk  menjaga  titipan  merupakan  hal yang harus diutamakan karna  wadi’ah termasuk  dalam wilayah  tolong  menolong dalam kebaikan dan  berdasarkan  taqwa  kepada apa yang diperintahkan.

D.  HUKUM MENERIMA WADI’AH
Syaikh  Muhammad  Azzuhri Alghamrawi dalam kitab Anwarul Masalik  syarah  dari  kitab  Umdatus  Saalik  Wa  Uddatun Naasik karya Imam syihabuddin Ahmad Ibn Naqib Asy syafi’i, beliau menerangkan tentang setatus hukum wadi’ah berkisar pada lima hukum utama, diantaranya :
Ø Haram
Bagi orang yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerima wadi’ah.
Ø Makruh
Bagi orang yang mampu menjaga, namun tidak percaya kepada dirinya sendiri. Dan dia khawatir berkhianat (tidak bisa bertanggung jawab) di makruhkan baginya menerima wadi’ah.
Ø Sunnah
Jika seorang percaya terhadap dirinya sendiri dan tidak khawatir akan berkhinat dalam menjaga titipan, maka sunnah baginya menerima wadi’ah, meskipun disitu ada orang lain.
Ø  Wajib
Jika di suatu tempat tidak ada orang lain selain dia saja dan mampu untuk menjaga titpan maka wajib menerima wadi’ah.
Hal serupa juga di jelaskan  oleh  Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad Alhusaini Alhishni AdDimasqi Asy-Syafi’i dalam kitab Kifayatul Akhyar fi halli ghoyatil ikhtishor, beliau berkata sudah lumrah bahwa kebutuhan  ataupun kepentingan yang  sangat  mendesak  mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas wadi’ah.
  Orang yang akan diminta untuk menjaga harta/barang harus diteliti dengan jelas, jika dia adalah orang yang amanah dan mampu menjaga titipan serta yakin terhadap dirinya sendiri, sunnah baginya menerima barang titpan itu. Berdasarkan sabda Rasulullah :

و الله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه
Artinya Allah akan menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya. (H.R. Muslim dari Abi Hurairah).
Kemudian Imam Taqiyuddin melanjutkan, Jika seorang tidak mampu menjaga titipan, haram ia menerimanya, demikian menurut komentar Imam Rofi’i dan Imam Nawawi. Sedang Ibnu Rif’ah mengaitkan keharaman orang yang tidak mampu menjaga barang untuk menerima titipan itu dengan kondisi yang tidak diketahui oleh pemilik barang bahwa dia tidak mampu, tapi bila si pemilik harta/barang mengetahui keadaannya  maka  tidak haram baginya untuk menerima titipan dan memang inilah hukum yang sudah jelas.
Di akhir penjelasan  beliau  dalam masalah hukum menerima wadi’ah, beliau mengutarakan satu kasus yaitu, bagaimana dengan orang yang mampu menjaga titipan namun tidak percaya terhadap diri sendiri dengan amanah yang akan diemban apakah dia haram menerimanya? Dalam masalah ini ada dua pendapat: pertama, menerima atau menolak titipan  tidak  ada  yang dikuatkan baik dalam syarah maupun kitab Raudhah. Kedua, secara pasti hukumnya makruh.

E.  KEDUDUKAN WADI’AH DAN BENTUK APLIKASINYA
a.    Kedudukan Wadi’ah
Di jelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid karangan Ibnu Rusyd Al Hafid bahwa para fuqoha’ sepakat  wadi’ah adalah amanah bukan madhmunah (tanggungan). Hal serupa juga termuat dalam kitab Kifayatul Akhyar dan Fathul Qorib dengan redaksi yang sama bahwa wadi’ah itu adalah amanah.
والوديعة أمانة و يستحب قبولها لمن قام بالأمانة فيها
Wadi’ah adalah amanah dan di anjurkan menerimanya bagi orang mampu melaksanakan amanah padanya.
Syaikh Muhammad Ibn Abdirrahman Asy-syafi’i menerangkan  dalam  kitab  beliau  Rahmatul Ummah Fi ikhtilafi A’immah bahwa wadi’ah adalah amanah murni, tidak ada kewajiban dari si wadik untuk menanggung atas wadi’ah kecuali dengan sebab ceroboh. Dan para imam sepakat wadi’ah termasuk ibadah yang di sunnahkan, berpahala dalam menjaganya. Ulama’ malikiyah memberikan komentar, argumen yang membuktikan bahwa  wadi’ah  itu  amanah  adalah Allah hanya memerintah mengembalikan amanah (barang/harta) kepada yang berhak dan tidak memerintah  dengan  harus  ada  saksi (bukti) ketika mengembalikan, demikian menurut keterangan dalam kitab Bidayatul mujtahid karya Ibnu Rusyd.
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, penyusun berkesimpulan  sesungguhnya kedudukan wadi’ah yang ada pada kekuasaan wadik hanya sebatas amanah yang harus dijaga bukan dhomanah yang akan menjadi tanggunggan wadik atas wadi’ah, dan si wadik tidak bisa dikenai pertanggung jawaban atas rusaknya barang titipan kecuali atas dasar kelalaian dan kecerobohan si wadik. Masalah ini akan kami paparkan dalam pembahsan terakhir yakni risiko kerusakan barang titipan.
     
b.   Bentuk Aplikasi Wadi’ah
Aplikasi wadi’ah diterangkan dalam kitab I’anatuththolibin juz 3. sah menitipkan barang muhtarom (barang yang dianggap baik oleh syara’) dengan mengucap هذا أو إستحفظتكه أودعتك  artinya barang ini saya titipkan padamu atau saya minta penjagaan barang ini kepadamu. Sah juga dengan mengucap خذه artinya ambillah barang ini, dibarengi dengan niat menitip. Ditambahkan dalam kitab Albajuri jilid 2 tidak disyaratkan adanya Qobul (ucapan setuju) dari si wadik, tapi cukup dengan mengambil barang titipan menendakan ia setuju.
Terdapat penjelasan dalam kitab anwarul masalik mengenai bentuk aplikasi wadi’ah diantaranya, wadi’ah harus di simpan dalam tempat yang semestinya. Jika si wadik ingin bepergian panjang ataupun khawatir akan meninggal maka wadi’ah harus dikembalikan kepada pemiliknya. Bila tidak menemukan pemilik wadi’ah atau wakilnya, boleh diserahkan kepada hakim (pemerintah setempat). Jika tidak ada Hakim, harus diserahkan   ke Amin (orang yang dipercaya).
Apabila si wadik tidak melakukan hal-hal diatas kemudian meninggal dan tidak pernah mewasiatkannya atau membawanya bepergian jauh lalu rusak maka dia harus menanggung beban wadi’ah tersebut. Atau menyerahkan titipan kepada Amin sedang Hakim ada, tetap si wadik menanggung beban wadi’ah.
Dalam kitab Rahmatul Ummah ditegaskan para ulama’ sepakat kapanpun pemilik wadi’ah meminta barangnya, si wadik wajib mengembalikan wadi’ah dalam keadaan sempurna, kalau tidak maka wajib menanggung beban atas titipan itu.
Sama dengan penjelasan diatas dalam kitab Anwarul Masalik di terangkan, kapanpun pemilik barang/harta meminta titipannya, wajib di kembalikan artinya harus diserahkan dengan segera tidak boleh ditunda.
Kitab Kifayatul Akhyar memuat penjelasan tentang aplikasi terakhir dari aktivitas wadi’ah yaitu,  mengenai pengembalian barang titipan, dalam kitab tersebut di jelaskan ucapan wadik dalam menyerahakn wadi’ah kepada poemiliknya harus diterima. Apabila si wadik mengucapkan kata kepada si mudik dengan lafadz  “ saya kembalikan wadi’ah ini kepada anda“ maka perkataan yang benar adalah perkataan si mudik dengan sumpahnya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah :
فليؤد الذي أؤتمن أمانته
“ Hendaklah orang yang dipercaya menunaikan amanahnya keapada orang yang berhak “. (QS. Al Baqarah 283). Dalm ayat ini Allah memrintahkan si wadik mengembalikan amanah tanpa dibarengi bukti/saksi kepada si mudik, menunujukkan bahwa ucapan si wadik diterima saat penyerahan amanah.

F.   RISIKO KERUSAKAN BARANG TITIPAN (WADI’AH)
Telah diterangkan dalam kitab Kifayatul Akhyar bahwa wadi’ah adalah amanah pada kekuasaan si wadik, tidak ada kewajiban menanggung beban (kerugian) atas wadi’ah bagi si wadik, karna wadi’ah sama hukumnya dengan seluruh amanah yang ada. Memang jika si wadik ceroboh dan berlebihan dalam wadi’ah maka ia dikenakan penanggungan beban atas wadi’ah.
Hal serupa juga di jelaskan dalam kitab Albajuri jilid 2 bahwa wadi’ah adalah amanah dan tidak ada kewajiban menannggung kerugian wadi’ah dari pihak wadik, kecuali atas kecerobohan dan kelalaiannya. Dalam kitab I’anatuththolibin juz 3 dirincikan bentuk kecerobohan dan kelalaian Si Wadik dalam menjaga amanah yang menyebabkan ia menanggung kerugian adalah sebagai berikut :
v  Si Wadik menitipkan wadi’ah kepada orang lain, walaupun kepada  hakim, tanpa  seizin  pemilik  dan tanpa  adanya  udzur seperti sakit, berpergian jauh, khawatir akan kebakaran, atau khawatir bangunan tempat menyimpan akan roboh.
v  Bila Si Wadik menempatkan/menaruh wadi’ah di tempat yang tidak sepatutnya. Dan bila si wadik memindhkan wadi’ah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepatuttnya.
Syaikh Muhammad Ibn Abdurrahman Asy syafi’i dalam kitab Romatul Ummah menegaskan tetang perselisihan ulama’ dalam masalah Wadik yang memindahkan wadi’ah ketempat/orang lain tanpa ada udzur. pendapat pertama, Abu Hanifah, Imam Malik dan Ahmad berkata bila Si Wadik menitipkan wadi’ah  kepada  orang  yang  wajib ia nafkahi meskipun tanpa udzur, ia tidak dikenai tanggung jawab atas beban wadi’ah. pendapat  kedua, Imam Syafi’i berkata apabila Si Wadik menitipkan wadi’ah kepada orang lain tanpa ada udzur, harus menanggung beban atas wadi’ah.
Keterangan yang sama  juga di paparkan dalam kitab Anwarul Masalik  bahwa factor yang menyebabkan si wadik menanggung kerugian atas wadi’ah, diantaranya :  Si Wadik menitipkan wadi’ah  pada  orang  lain tanpa  sebab  berpergian jauh atau tanpa adanya dharurat, wadi’ah dicampur dengan hartanya sendiri sehingga tidak bias dibedakan antara hartanya dengan wadi’ah, Si Wadik menggunakan wadi’ah atau mengeluarkannya untuk dimanfaatkan namun sia-sia, menyimpannya pada tempat yang tidak  semestinya, atau Si Wadik menaruh wadi’ah tidak pada tempat yang diinginkan oleh Si Mudik.
Termuat juga dalam kitab Kifayatul Akhyar mengenai konsekuensi wadi’ah, yakni apabila Si Mudik meminta wadi’ahnya, maka Si Wadik harus segera mengembalikan wadi’ah itu. Jika Si Wadik mengulurkan waktu penyerahan setelah diminta tanpa ada udzur, kemudian barang titipan rusak, maka Si Mudik harus menanggung kerusakan wadi’ah.
Udzur yang dimaksud disini adalah,  seperti pada waktu shalat, qodho’ hajat, sedang bersuci, atau sedang didalam kamar mandi, khawatir akan hujan, ataupun wadi’ah berada ditempat lain, jika ke semua udzur (alasan) ini ada, boleh menunda pengembalian wadi’ah.
Dalam Rahmatul Ummah diterangkan panjang lebar mengenai konseksuensi wadi’ah dan pertanggungjawaban atas rusaknya wadi’ah dikarenakan kelalaian Si Wadik atau kecerobohannya,  sebagaimana yang di jelaskan oleh Qodhi Abdul Wahhab Bahwa apabila barang yang di titip (wadi’ah) termasuk benda yang tidak bisa ditakar maupun ditimbang seperti kendaran dan pakaian, lalu Si Wadik mempergunakannya kemudian wadi’ah itu rusak, maka Si Wadik harus mengganti berdasarkan nilainya (harganya), bukan dengan bentuk barang yang semisal. Karena ia telah ceroboh dan tidak berhati-hati dalam menggunakan wadi’ah dan telah keluar dari wilayah amanah.
Dari uraian diatas penyusun berkesimpulan  bahwa pada dasarnya wadi’ah itu adalah amanah murni bukan dhomanah. Akad wadi’ah juga termasuk dalam akad tolong menolong (saling mempercyai), sehingga orang yang dititpi tidak bisa diminta pertanggung jawaban atas rusak atau hilangnya wadi’ah, melainkan apabila rusaknya wadi’ah didasarkan atas kelalaiannya dan tidak dijaga menurut sebagaimana mestinya.
Rasulullah bersabda :

من أودع وديعة فلا ضمان عليه

“Siapa yang dititipi tidak berkewajiban menjamin”.
(H.R. Ibnu Majah).









BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Wadi’ah  adalah  sesuatu  yang  dititp (ditinggalkan) berupa harta atau yang  lainnya  pada orang yang mau menjaganya untuk dikembalikan kepada  pemiliknya  kapanpun  diminta, dan  wadi’ah  di syari’aatkan  oleh Al Qur’an dan Al Hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar