BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Perkembangan
zaman yang semakin modern membuat manusia semakin sering bertransaksi dengan
sesama, sejalan dengan itu hukum Islam pun dituntut agar mampu mengakomodasi
tuntutan zaman yang tidak bertentangan dengan Syaria’at dalam semua transaksi.
Dalam hukum Islam belum dikenal dengan istilah ijarah muntahiya bi al-tamlik tetapi hanya mengenal ijarah murni (ijarah) yaitu sewa menyewa yang tidak diikuti oleh pemindahan hak
milik. Di zaman sekarang ini kebutuhan manusia yang semakin bertambah sehingga
muncul aqad-aqad baru, termasuk dalam hal sewa-menyewa.
Akad pembiayaan ijarah muntahiya bi al-tamlik ini
timbul dalam praktek perbankan
karena adanya tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang dalam masyarakat, yang
mana ternyata tidak dikuti dengan peningkatan kondisi keuangan yang signifikan,
sehingga tidak dapat mengimbangi pemenuhan akan berbagai kebutuhan tersebut.
Pihak-pihak yang terkait dalam pembiayaan ijarah muntahiya bi al-tamlik
adalah bank syariah, nasabah dan supplier. Hak kepemilikan obyek pembiayaan
selama masa ijarah masih tetap ada pada bank syariah, baru kemudian
apabila masa ijarah telah selesai atau apabila pihak nasabah telah
memenuhi segala kewajibannya maka hak kepemilikan obyek ijarah muntahiya bi
al-tamlik tersebut baru beralih kepada nasabah, baik dengan akad jual beli
atau hibah sesuai dengan kesepakatan dari para pihak.
- Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan ijarah muntahiya bi tamlik?
2. Apa yang menjadi
landasan hukum ijarah muntahiya bi
al-tamlik?
3. Bagaimana aplikasinya
dalam perbankkan?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui apa
itu IMBT
2. Untuk Memenuhi Tugas
Dari Dosen
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik
Ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan
kombinasi dua akad, yaitu akad jual-beli dan sewa-menyewa atau hibah.
Akad
ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan akad penyediaan
dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang kepada
pihak penyewa yaitu nasabah. Secara khusus, ijarah muntahiya bi al-tamlik diatur
dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah al
Muntahiyah bi al-Tamlik. Bank berdasarkan prinsip syariah atau bank
syariah, seperti halnya bank konvensional juga berfungsi sebagai suatu lembaga
intermediasi keuangan (financial intermediary institution), yaitu suatu
lembaga yang kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang
membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan.
B.
Landasan
Hukum Ijarah
1. Landasan
Syari’ah
a. Al-Qur’an
(al-Baqarah: 233)
b. Hadits.
Sedangkan
landasan sunahnya dapat dilihat pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dan muslim dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad SAW mengemukakan:
“ Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah olehmu upaya kepada tukang bekam itu”.
Juga
dapat kita jumpai dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan An Nasa’I
dari Abi Waqqash r.a, berkata:
“
Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu
Rasullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan
uang emas atau perak.”
c. Ijmak
Mengenai
ijarah ini juga sudah mendapatkan ijmak ulama, berupa kebolehan seorang
muslim untuk membuat dan melaksanakan akad ijarah atau perjanjian
sewa-menyewa. Hal ini sejalan juga dengan prinsip muamalah, bahwa semua bentuk
muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.
2. Landasan
Hukum Positif
Landasan produk ijarah dalam hokum positif
dapat dijumpai dalam
a) UU
No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 07 Tahun 1992 tentang
perbankkan. Sedangkan dasar hokum yang khusus mengatur tentang perbankkan
syari’ah adalah UU No. 21 Tahun 2008, dalam pasal 1 angka 25, yang intinya
menyebutkan bahwa pembiayaan adalah menyediakan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa transakasi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bi al-tamlik.
b) PBI
No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syari’ah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah,
sebagaimana yang diubah dalam PBI No. 10/16/PBI/2008, menyebutkan antara lain,
Pemenuhan Prinsip Syari’ah sebagaimana yang dimaksud, dilakukan melalui
kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan menggunakan akad antara lain:
Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, Salam, Istisna’, Ijarah IMBT dan Qard.
c) Fatwa
DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, menyatakan bahwa
kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan
pihak lain melalui akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna/manfaat
atas suatu barang atau jasa tertentu melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
C. Aplikasinya dalam Perbankan
Dalam
ijarah muntahiya bi al-tamlik, terdapat pemindahan hak milik dengan
salah satu cara sebagai berikut:
1. Pihak
yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir
masa sewa.
Hal ini biasanya diambil, jika
kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil, sehingga
akumulasi nilai sewa yang telah dibayarkan sampai akhir periode belum mencukupi
harga barang tersebut dan margin laba yang telah disepakati bank.
2. Pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa.
Biasanya diambil, jika kemampuan
membayar sewa dari penyewa relatif lebih besar, sehingga akumulasi nilai sewa
pada akhir periode sudah mencukupi untuk menutupi harga beli barang dan margin
laba yang telah ditetapkan oleh bank. Opsi di atas diberikan bank kepada
nasabah pada akhir masa sewa.
Aplikasi ijarah
muntahiya bi al-tamlik dalam perbankkan dapat dilihat dalam contoh kasus berikut:
a) Ilustrasi
Kasus
Ibu
mawar hendak menyewa sebuah ruko selama satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari
2013 sampai 31 Desember 2013 dan bermaksud membelinya pada akhir masa sewa. Pemilik ruko menginginkan pembayaran
sewa secara tunai di muka sebesar Rp 2 milyar (tanggal 1 Januari 2013) dan Rp 2
milyar di akhir masa sewa (31 Desamber 2013), untuk membeli ruko tersebut. Atau
apabila ruko tersebut dibeli secara langsung pada tanggal 1 Januari 2013,
pemilik ruko bersedia menjualnya dengan harga Rp 3,5 milyar. Dengan pola pembayaran
tersebut, kemampuan keuangan bu Mawar tidak memungkinkan.
Bu
Mawar hanya dapat membayar ruko secara cicilan sebesar Rp 300.000.000,00 per
bulan dan membeli ruko pada akhir sewa. Oleh karena itu, bu mawar meminta pembiayaan dari Islamic Banking sebesar Rp
2 milyar pada awal masa sewa dan Rp 2
milyar pada akhir masa sewa atau sekaligus Rp 3,5 milyar pada awal sewa.
Islamic Banking menginginkan presentasi keuntungan sebesar 20% dari pembiayaan
yang diberikan dengan presentasi keuntungan bank ketika menyewakan sebesar
2,875 dari harga barang.
b) Analisis
Bank
Harga barang
(2,875% * 3,5 milyar)
(17,143% * 3,5 milyar)
Total harga barang
|
Rp 3.500.000.000,00
Rp 100.000.000,00
Rp 600.000.000
Rp 4.200.000.000,00
|
Kemampuan membayar nasabah
Rp 300.000.000,00 per bulan
Total
kemampuan membayar
|
Rp 3.600.000.000,00
Rp 600.000.000,00
Rp 4.200.000.000,00
|
3. Struktur
akad:
a. Bai’ wa ijarah muntahiya bi al-tamlik dengan janji akan menjual barang
tersebut pada akhir masa sewa.
b. Bank sebagai pembeli (1 Januari
2013), dengan demikian cash out Rp 3,5 milyar.
c. Barang diterima oleh bank (1 Januari
2013) , cash in bank dari nasabah (Ibu Mawar) sebesar Rp 300.000.000,00 per
bulan.
Akad I: Bai’
a. Pelaku : 1) Bank sebagai pembeli
ruko
b. Pemilik ruko sebagai penjual ruko
c. Transaksi: Bank membeli ruko dari
pemilik ruko dengan harga tunai. Dengan kondisi ini maka,
ü Bank mengeluarkan uang (cash out)
sebesar Rp 3.500.000.000,00
sebagai pembayaran tunai atas ruko.
ü Bank telah dapat menyewakan ruko
tersebut selama 12 bulan.
Akad II: Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik
a. Pelaku:
1) Bank bertindak sebagai pemberi sewa dan
penjual pada akhir masa sewa.
2)
Nasabah sebagai penyewa dan pada akhir masa sewa sebagai pemilik.
b. Transaksi: Bank membeli ruko dari pemilik ruko, dengan
kondisi ini maka,
1) Bank mengeluarkan uang (cash out)
sebesar Rp 3.500.000.000,00 (1 Januari 2013) sebagai pembayaran tunai atas
ruko.
2) Bank telah dapat menyewakan ruko
tersebut selama 12 bulan kepada nasabah (1 Januari 2013)
3) Bank menerima pembayaran sewa (cash
in) sebesar Rp 300.000.000,00 per bulan selama 12 bulan periode sesuai yang
disepakati nasabah.
4) Pada akhir masa sewa, bank menerima
uang pembelian ruko dari nasabah sebesar
Rp 600.000.000,00 (31 Desember 2013). Sehingga terjadi pemindahan kepemilikan
ruko dan sejak saat itu nasabah sebagai pemilik ruko (31 Desember 2013).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø Akad
ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan akad penyediaan
dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang kepada
pihak penyewa yaitu nasabah.
Ø Landasan
Hukum Ijarah, yaitu
1) Landasan
Syari’ah terdapat dalam Al-Qur’an (al-Baqarah: 233), Hadits yang menyatakan:
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu
Rasullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan
uang emas atau perak.” Serta dalam ijmak yang menyatakan tentang kebolehan
seorang muslim untuk membuat dan melaksanakan akad ijarah atau
perjanjian sewa-menyewa.
2) Landasan
hokum positif terdapat dalam Landasan produk ijarah dalam hokum positif
dapat dijumpai dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 07
Tahun 1992 tentang perbankkan. Sedangkan dasar hokum yang khusus mengatur
tentang perbankkan syari’ah adalah UU No. 21 Tahun 2008, dalam pasal 1 angka
25, PBI No. 9/19/PBI/2007, yang diubah dalam PBI No. 10/16/PBI/2008 dan Fatwa
DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
3) Aplikasinya
dalam perbankkan adalah bahwa pihak bank memberikan pembiayaan kepada nasabah
dengan mengadakan suatu barang yang kemudian disewakan kepada nasabah, dan di
akhir sewa kepemilikan barang beralih kepada nasabah, setelah nasabah melunasi
sewa sekaligus sisa pembeliannya, yang dilakukan dengan dua opsi, yaitu:
4) Pihak
yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir
masa sewa. Hal ini biasanya diambil, jika kemampuan finansial penyewa untuk
membayar sewa relatif kecil, sehingga akumulasi nilai sewa yang telah
dibayarkan sampai akhir periode belum mencukupi harga barang tersebut dan
margin laba yang telah disepakati bank.
5) Pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa.
DAFTAR PUSTAKA
Rivai, Veithzal. Islamic Financial Management: Teori, Konsep,
dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah dan Praktisi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008.
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/1409833120_abs.pdf, diakses 22 Maret 2013.
http://caknenang.blogspot.com/2010/11/tinjauan-teoritis-aqad-ijarah-muntahiya_678.html, diakses 22 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar