Daftar Blog Saya

Sabtu, 28 Januari 2017

Pengertian Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik




BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Perkembangan zaman yang semakin modern membuat manusia semakin sering bertransaksi dengan sesama, sejalan dengan itu hukum Islam pun dituntut agar mampu mengakomodasi tuntutan zaman yang tidak bertentangan dengan Syaria’at dalam semua transaksi. Dalam hukum Islam belum dikenal dengan istilah ijarah muntahiya bi al-tamlik tetapi hanya mengenal ijarah murni (ijarah) yaitu sewa menyewa yang tidak diikuti oleh pemindahan hak milik. Di zaman sekarang ini kebutuhan manusia yang semakin bertambah sehingga muncul aqad-aqad baru, termasuk dalam hal sewa-menyewa.
Akad pembiayaan ijarah muntahiya bi al-tamlik ini timbul dalam praktek perbankan karena adanya tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang dalam masyarakat, yang mana ternyata tidak dikuti dengan peningkatan kondisi keuangan yang signifikan, sehingga tidak dapat mengimbangi pemenuhan akan berbagai kebutuhan tersebut. Pihak-pihak yang terkait dalam pembiayaan ijarah muntahiya bi al-tamlik adalah bank syariah, nasabah dan supplier. Hak kepemilikan obyek pembiayaan selama masa ijarah masih tetap ada pada bank syariah, baru kemudian apabila masa ijarah telah selesai atau apabila pihak nasabah telah memenuhi segala kewajibannya maka hak kepemilikan obyek ijarah muntahiya bi al-tamlik tersebut baru beralih kepada nasabah, baik dengan akad jual beli atau hibah sesuai dengan kesepakatan dari para pihak.
  1. Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan ijarah muntahiya bi tamlik?
2.    Apa yang menjadi landasan hukum ijarah muntahiya bi al-tamlik?
3.    Bagaimana aplikasinya dalam perbankkan?
C.   Tujuan
1.     Untuk mengetahui apa itu IMBT
2.     Untuk Memenuhi Tugas Dari Dosen
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik
Ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan kombinasi dua akad, yaitu akad jual-beli dan sewa-menyewa atau hibah.
Akad ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang kepada pihak penyewa yaitu nasabah. Secara khusus, ijarah muntahiya bi al-tamlik diatur dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah al Muntahiyah bi al-Tamlik. Bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah, seperti halnya bank konvensional juga berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), yaitu suatu lembaga yang kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan.

B.     Landasan Hukum Ijarah
1.    Landasan Syari’ah
a.    Al-Qur’an (al-Baqarah: 233)
b.    Hadits.
Sedangkan landasan sunahnya dapat dilihat pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad SAW mengemukakan:
“ Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upaya kepada tukang bekam itu”.
Juga dapat kita jumpai dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan An Nasa’I dari Abi Waqqash r.a, berkata:
“ Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak.”
c.    Ijmak
Mengenai ijarah ini juga sudah mendapatkan ijmak ulama, berupa kebolehan seorang muslim untuk membuat dan melaksanakan akad ijarah atau perjanjian sewa-menyewa. Hal ini sejalan juga dengan prinsip muamalah, bahwa semua bentuk muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.

2.    Landasan Hukum Positif
Landasan produk ijarah dalam hokum positif dapat dijumpai dalam
a)    UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 07 Tahun 1992 tentang perbankkan. Sedangkan dasar hokum yang khusus mengatur tentang perbankkan syari’ah adalah UU No. 21 Tahun 2008, dalam pasal 1 angka 25, yang intinya menyebutkan bahwa pembiayaan adalah menyediakan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transakasi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bi al-tamlik.
b)   PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syari’ah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah, sebagaimana yang diubah dalam PBI No. 10/16/PBI/2008, menyebutkan antara lain, Pemenuhan Prinsip Syari’ah sebagaimana yang dimaksud, dilakukan melalui kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan menggunakan akad antara lain: Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, Salam, Istisna’, Ijarah IMBT dan Qard.
c)    Fatwa DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna/manfaat atas suatu barang atau jasa tertentu melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.



C.     Aplikasinya dalam Perbankan
Dalam ijarah muntahiya bi al-tamlik, terdapat pemindahan hak milik dengan salah satu cara sebagai berikut:
1.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Hal ini biasanya diambil, jika kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil, sehingga akumulasi nilai sewa yang telah dibayarkan sampai akhir periode belum mencukupi harga barang tersebut dan margin laba yang telah disepakati bank.
2.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. 
Biasanya diambil, jika kemampuan membayar sewa dari penyewa relatif lebih besar, sehingga akumulasi nilai sewa pada akhir periode sudah mencukupi untuk menutupi harga beli barang dan margin laba yang telah ditetapkan oleh bank. Opsi di atas diberikan bank kepada nasabah pada akhir masa sewa.
Aplikasi ijarah muntahiya bi al-tamlik dalam perbankkan dapat dilihat dalam contoh kasus berikut:
a)    Ilustrasi Kasus
Ibu mawar hendak menyewa sebuah ruko selama satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2013 dan bermaksud membelinya pada akhir masa sewa. Pemilik ruko menginginkan pembayaran sewa secara tunai di muka sebesar Rp 2 milyar (tanggal 1 Januari 2013) dan Rp 2 milyar di akhir masa sewa (31 Desamber 2013), untuk membeli ruko tersebut. Atau apabila ruko tersebut dibeli secara langsung pada tanggal 1 Januari 2013, pemilik ruko bersedia menjualnya dengan harga Rp 3,5 milyar. Dengan pola pembayaran tersebut, kemampuan keuangan bu Mawar tidak memungkinkan.
Bu Mawar hanya dapat membayar ruko secara cicilan sebesar Rp 300.000.000,00 per bulan dan membeli ruko pada akhir sewa. Oleh karena itu, bu mawar meminta pembiayaan dari Islamic Banking sebesar Rp 2 milyar  pada awal masa sewa dan Rp 2 milyar pada akhir masa sewa atau sekaligus Rp 3,5 milyar pada awal sewa. Islamic Banking menginginkan presentasi keuntungan sebesar 20% dari pembiayaan yang diberikan dengan presentasi keuntungan bank ketika menyewakan sebesar 2,875 dari harga barang.
b)   Analisis Bank
Harga barang
  1. Harga beli tunai
  2. Keuntungan bank ketika menyewa
(2,875% * 3,5 milyar)
  1. Keuntungan bank ketika menjual
(17,143% * 3,5 milyar)
Total harga barang

Rp 3.500.000.000,00


Rp 100.000.000,00


Rp 600.000.000
Rp 4.200.000.000,00
Kemampuan membayar nasabah
  1. Pembayaran sewa cicilan
Rp 300.000.000,00 per bulan
  1. Pembelian ruko pada akhir masa sewa
Total kemampuan membayar


Rp 3.600.000.000,00

Rp 600.000.000,00

Rp 4.200.000.000,00
3.    Struktur akad:
a.    Bai’ wa ijarah muntahiya bi al-tamlik dengan janji akan menjual barang tersebut pada akhir masa sewa.
b.    Bank sebagai pembeli (1 Januari 2013), dengan demikian cash out Rp 3,5 milyar.
c.    Barang diterima oleh bank (1 Januari 2013) , cash in bank dari nasabah (Ibu Mawar) sebesar Rp 300.000.000,00 per bulan.
Akad I: Bai’
a.    Pelaku : 1) Bank sebagai pembeli ruko
b.    Pemilik ruko sebagai penjual ruko
c.    Transaksi: Bank membeli ruko dari pemilik ruko dengan harga tunai. Dengan kondisi ini maka,
ü  Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rp 3.500.000.000,00           sebagai pembayaran tunai atas ruko.
ü  Bank telah dapat menyewakan ruko tersebut selama 12 bulan.


Akad II: Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik
a.    Pelaku: 
1)  Bank bertindak sebagai pemberi sewa dan penjual pada   akhir masa sewa.
2)  Nasabah sebagai penyewa dan pada akhir masa sewa sebagai pemilik.
b.    Transaksi:  Bank membeli ruko dari pemilik ruko, dengan kondisi ini maka,
1)   Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rp 3.500.000.000,00 (1 Januari 2013) sebagai pembayaran tunai atas ruko.
2)   Bank telah dapat menyewakan ruko tersebut selama 12 bulan kepada nasabah (1 Januari 2013)
3)   Bank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rp 300.000.000,00 per bulan selama 12 bulan periode sesuai yang disepakati nasabah.
4)   Pada akhir masa sewa, bank menerima uang pembelian ruko  dari nasabah sebesar Rp 600.000.000,00 (31 Desember 2013). Sehingga terjadi pemindahan kepemilikan ruko dan sejak saat itu nasabah sebagai pemilik ruko (31 Desember 2013).









BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø  Akad ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang kepada pihak penyewa yaitu nasabah.
Ø  Landasan Hukum Ijarah, yaitu
1)      Landasan Syari’ah terdapat dalam Al-Qur’an (al-Baqarah: 233), Hadits yang menyatakan: “Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak.” Serta dalam ijmak yang menyatakan tentang kebolehan seorang muslim untuk membuat dan melaksanakan akad ijarah atau perjanjian sewa-menyewa.
2)      Landasan hokum positif terdapat dalam Landasan produk ijarah dalam hokum positif dapat dijumpai dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 07 Tahun 1992 tentang perbankkan. Sedangkan dasar hokum yang khusus mengatur tentang perbankkan syari’ah adalah UU No. 21 Tahun 2008, dalam pasal 1 angka 25, PBI No. 9/19/PBI/2007, yang diubah dalam PBI No. 10/16/PBI/2008 dan Fatwa DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
3)      Aplikasinya dalam perbankkan adalah bahwa pihak bank memberikan pembiayaan kepada nasabah dengan mengadakan suatu barang yang kemudian disewakan kepada nasabah, dan di akhir sewa kepemilikan barang beralih kepada nasabah, setelah nasabah melunasi sewa sekaligus sisa pembeliannya, yang dilakukan dengan dua opsi, yaitu:
4)      Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Hal ini biasanya diambil, jika kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil, sehingga akumulasi nilai sewa yang telah dibayarkan sampai akhir periode belum mencukupi harga barang tersebut dan margin laba yang telah disepakati bank.
5)      Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. 

DAFTAR PUSTAKA

Rivai, Veithzal. Islamic Financial Management: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah dan Praktisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar