PERBANKAN SYARI’AH
Sistem
pembiayaan dalam bank syari’ah
FAKULTAS SYARI’AH PROGRAM STUDY EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI(IAIH) PANCOR
TA:2013/2014
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, Sungguh merupakan suatu
kebahagiaan yang tak terhingga, sehingga puja dan puji syukur wajiblah kita panjatkan ke hadirat
Allah SWT yang berkenan memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah
ini.
Untaian Sholawat dan Salam akan selalu terhaturkan kepada Nabi Muhammad
SAW sang pemimpin ummat manusia dengan harapan semoga kita mampu meraih
Syafaatnya diyaumul kiamah nanti.
Ungkapan rasa terima
kasih juga kami haturkan kepada dosen pengajar khususnya Ustadz Marjan M.EI yang telah membimbing dan selalu memberikan
semangat yang pada akhirnya bisa membantu untuk lebih sedikit demi sedikit
memperluas wawasan pengetahuan kami sehingga dapat terselesaikannya makalah
ini, meskipun jika ditinjau lebih jauh makalah ini masih belum sempurna untuk
dikatakan sebagai makalah yang baik, dan kami menyadari bahwa kami bukanlah
manusia yang tercipta dalam kesempurnaan, namun kami akan tetap berusaha untuk
menjadi lebih baik dengan terus belajar.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap
kritik dan saran dari pembaca yang dapat
membangun agar makalah selanjutnya bisa lebih baik.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB 1:PENDAHULUAN
A.Latar
belakang............................................................................................ 1
B.Rumusan
masalah....................................................................................... 1
BAB II:PEMBAHASAN
A.pengertian
pembiayaan............................................................................... 2
B.Bentuk-
bentuk pembiayaan....................................................................... 2
1.Pembiayaan modal kerja
2.pembiayaan investasi
3.Pembiayaan konsumtif
BAB III:PENUTUP
A.Kesimpulan................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Bank atau lebih sering disebut dengan istilah
perbankan adalah suatu lembaga yang berpungsi untu menyimpan dan menyalurkan
uang yang tujuanya adalah untuk mensejahterakan masyarakat atau kemaslahatan
umat
Sejak awal kelahiran perbankan syari’ah
dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance islam modern : neorevivalis
dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan (bank) yang
berlandaskan etika ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap
aspek kehidupan ekonominya yang berlandaskan Al,qur’an dan Al hadis
Penyusun berharap agar para pembaca makalah ini
tidak merasa puas dengan tulisan ini, akan tetapi harus lebih memacu semangat
untuk lebih menggali kebenaran yang hakiki dengan menggunakan referensi yang
lebih banyak lagi, agar kita semua mempunyai pedoman dalam beraktivitas dengan
manusia lainnya sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya Amin.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian
pembiayaan
2. Apa saja bentuk
dan macam dari system pembiayaan syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN
PEMBIAYAAN
Pembiayaan merupakan tugas
pokok bank, yaitu pemberian pasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaanya pembiayaan dapat
dibagi menjadi dua hal diantaranya sbb.
1.Pembiayaan
produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha
produksi, perdagangan, maupun investasi
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu
pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis
diguna-kan untuk dipakai memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan
produktif dapat dibagi menjadi
1. Pembiayaan modal kerja, yaitu
pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan
a.peningkatan produksi, baik secara
kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu
peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi.
b. untuk keperluan perdagangan
atau peningkatan utility of place dari suatu barang
2. Pembiayaan investasi, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta
fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
B.BENTUK
DAN MACAM PEMBIAYAAN
1.PEMBIAYAAN
MODAL KERJA
Unsur-unsur modal kerja terdiri dari
komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan
persediaan (inventory) yang umumnya terdiri dari persediaan bahan baku (raw
material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan
barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pem-biayaan modal kerja
merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash
financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan
persediaan (inventory financing).
Bank konvensional memberikan kredit
modal kerja tersebut, dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang
dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari
komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan
untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga. Bank syariah dapat
membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut, bukan dengan
meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan
nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal),
sedang-kan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini
disebut dengan mudharanah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan
untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan
nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana
tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian
bank.
1. Pembiayaan Likuiditas (Cash
Financing)
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada per-usahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada per-usahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Bank syariah dapat menyediakan
fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang disebut
compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah harus membuka rekening
giro, dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah
mangalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang
tersedia sehingga menjadi negatif sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam
akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun,
kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2. Pembiayaan Piutang (Receivable
Financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang men-jual barangnya dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa:
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang men-jual barangnya dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa:
a. Pembiayaan Piutang (Receivable
Financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah ber-kewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Tetapi, bila bank merasa perlu, dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama diguna-kan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya, dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank.
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah ber-kewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Tetapi, bila bank merasa perlu, dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama diguna-kan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya, dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank.
b. Anjak Piutang (Factoring)
Fasilitas
ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah Untuk
keperluan tersebut nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh
pihak yang berhutang, atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh
pihak yang berhutang, kemudian di-endors oleh nasabah. Draf atau promes
tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku
atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes tersebut.
Bila pada saat jatuh tempo draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih,
maka nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.
Bagi bank syariah, untuk kasus
pembiayaan piutang se-perti tersebut di atas hanya dapat dilakukan dalam bentuk
al qardh di mana bank tidak boleh meminta imbalan, kecuali biaya administrasi.
Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambil-alihah
piutang, yaitu yang disebut hiwalah. Tetapi untuk fasilitas ini pun bank tidak
dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya administrasi dan
biaya penagihan. Dengan demikian, bank syariah meminjamkan uang (qardh) sebesar
piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih atau promes) yang
diserahkan kepada bank – tanpa potongan. Hal itu adalah bila ternyata pada saat
jatuh tempo hasil tagihan itu digunakan untuk melunasi hutang nasabah kepada
bank. Tetapi bila ternyata piutang tersebut tidak ditagih, maka nasabah harus
membayar kembali hutangnya itu kepada bank. Selain itu, sebagian ulama
memberikan jalan keluar berupa pembelian surat hutang (bai’ al dayn), tetapi
sebagian ulama melarangnya .
3. Pembiayaan Persediaan (Inventory
Financing)
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainnya, yaitu memberikan pinjaman dengan bunga.
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainnya, yaitu memberikan pinjaman dengan bunga.
Bank syariah mempunyai mekanisme
tersendiri untuk me-menuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu
antara lain dengan menggunakan prinsip jual-beli (al bai’) dalam dua tahap.
Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari suplier secara tunai)
barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual kepada
nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keun-tungan yang
disepakati bersama, antara bank dengan nasabah. Ada beberapa skema jual-beli
yang dipergunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut yaitu:
a. Bai’ al Murabahah
Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri dari biaya pengadaan bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan menjadi barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Bila barang jadi itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang, dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri dari biaya pengadaan bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan menjadi barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Bila barang jadi itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang, dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Pembiayaan ini juga dapat diberikan
kepada nasabah yang hanya membutuhkan dana untuk pengadaan bahan baku dan bahan
penolong. Sementara itu, biaya proses produksi dan penjualan, seperti upah
tenaga kerja, biaya pengepakan, biaya distribusi, serta biaya-biaya lainnya
dapat ditutup dalam jangka waktu sesuai dengan lamanya perputaran modal kerja
tersebut, yaitu dari pengadaan persediaan bahan baku, sampai terjualnya hasil
produksi, dan hasil penjualan diterima dalam bentuk tunai (cash).
b. Bai’ al Istishna’
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk pro-ses produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al istishna’. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya pro-duksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk pro-ses produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al istishna’. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya pro-duksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka produk
tersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli
barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan
mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses
pemberian fasilitas bai’ al istishna’ tersebut, bank juga te-lah mencari
potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam
praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi
pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pem-beli itu
menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel atau istishna’wal
murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi
istishna’ wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli
(istishna’) dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah).
c. Bai’ as Salam
Untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti, seperti produksi pertanian, bank dapat memberikan fasili-tas bai’ al salam. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus, dan nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan bank dapat mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi ini disebut salam paralel.
Untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti, seperti produksi pertanian, bank dapat memberikan fasili-tas bai’ al salam. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus, dan nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan bank dapat mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi ini disebut salam paralel.
Bila produksi itu dilakukan secara
terus-menerus dan perputaran modal kerja tersebut telah sedemikian secepatnya
sehingga nasabah memerlukan pembiayaan modal kerja secara evergreen, maka skema
pembiayaan yang paling tepat adalah al mudharabah.
4.
Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan
a. Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Pada umumnya perputaran modal kerja (working capital turnover) perdagangan semacam ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup, karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling tepat adalah skema mudharabah.
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Pada umumnya perputaran modal kerja (working capital turnover) perdagangan semacam ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup, karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling tepat adalah skema mudharabah.
b. Perdagangan Berdasarkan Pesanan
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diselesai-kan di tempat penjual, yaitu seperti perdagangan antarkota, perdagangan antarpulau, atau perdagangan antarnegara. Pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesanan, atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran atau pemesanan.
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diselesai-kan di tempat penjual, yaitu seperti perdagangan antarkota, perdagangan antarpulau, atau perdagangan antarnegara. Pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesanan, atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran atau pemesanan.
Berdasarkan pesanan itu penjual lalu
mengumpulkan barang-barang yang diminta, dengan cara membeli atau memesan, baik
dari produsen maupun dari pedagang lainnya. Setelah terkumpul, barulah
dikirimkan kepada pembeli sesuai pesanan. Apabila barang telah dikirim, maka
penjual juga menghadapi kemungkinan risiko tidak dibayarnya barang yang
dikirimnya itu. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kedua belah pihak,
bank konvensional telah memberikan jalan keluarnya, yaitu fasilitas letter of
credit (L/C). Bank syariah telah dapat mengadopsi mekanisme L/C itu dengan
meng-gunakan skema al wakalah, al musyarakah, al mudha-rabah, ataupun al
murabahah. Dalam hal al wakalah, bank syariah hanya memperoleh pendapatan
berupa fee atas jasa yang diberikannya.
2.
PEMBIAYAAN INVESTASI
Pembiayaan investasi diberikan
kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal
guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru.
Ciri-ciri pembiayaan investasi
adalah:
1. Untuk pengadaan barang-barang modal;
2. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3. Berjangka waktu menengah dan panjang
1. Untuk pengadaan barang-barang modal;
2. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3. Berjangka waktu menengah dan panjang
Pada umumnya, pembiayaan investasi
diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu,
perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua
komponen biaya dan pendapatan sehinga akan dapat diketahui berapa dana yang
tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Kemudian, barulah disusun jadwal
amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan.
Penyusunan proyeksi arus kas ini
harus disertai pula dengan perkiraan keadaan-keadaan pada masa yang akan
datang, me-ngingat pembiayaan investasi memerlukan waktu yang cukup panjang.
Untuk memperkirakannya perlu diadakan perhitungan dan penyusunan proyeksi
neraca dan rugi laba (projected balance sheet and projected income statement)
selama jangka waktu pem-biayaan. Dari perkiraan itu akan diketahui kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba (earning power) dan kemampuan per-usahaan untuk
memenuhi kewajibannya (solvency). Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan
dipantau, maka untuk pembiayaan investasi bank syariah menggunakan skema
musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan pembiayaan dengan
prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya, dan
pemilik perusahaan akan mengam-bil alih kembali, baik dengan menggunakan
surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal
dari setoran pemegang saham yang ada ataupun dengan mengundang pemegang saham
baru.
Skema lain yang dapat digunakan oleh
bank syariah adalah al ijarah al muntahia bittamlik, yaitu menyewakan barang
modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran
sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan, surplus, dan
sumber-sumber lain yang dapat diper-oleh perusahaan.
3.
PEMBIAYAAN KONSUMTIF
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh
pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk
me-menuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan
primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah
kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, dan
tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan.
Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara
kuan-titatif maupun kualitatif lebih tingi atau lebih mewah dari kebutuhan
primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/ perhiasan,
bangunan rumah, kendaraan, dan sebagainya, maupun berupa jasa seperti
pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.
Pada umumnya, bank konvensional
membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai
dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang
kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Sedangkan untuk
pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat
diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut
berasal dari sumber pendapatan lain, dan bukan dari eksploitasi barang yang
dibiayai dari fasilitas ini.
Bank syariah dapat menyediakan
pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan
menggunakan skema:
1. Al bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual-beli dengan angsuran
2. Al ijarah al muntahia bit tamlik atau sewa beli
3. Al musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, di mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipa-sinya
4. Ar Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
1. Al bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual-beli dengan angsuran
2. Al ijarah al muntahia bit tamlik atau sewa beli
3. Al musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, di mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipa-sinya
4. Ar Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan konsumsi tersebut di atas
lazim digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. Sedangkan kebutuhan primer
pada umumnya tidak dapat dipenuhi dengan pembiayaan komersil. Seseorang yang
belum mampu memenuhi kebutuhan pokoknya tergolong fakir atau miskin, dan oleh
karena itu ia wajib diberikan zakat atau shadaqah, atau maksimal diberikan
pinjaman kebajikan (al qardh al hasan), yaitu pinjaman dengan kewajiban
pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apa pun.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Bank merupakan suatu lembaga yang bertugas menyimpan dan
menyalurkan uang, disamping itu bank juga salah satu juga pungsinya adalah
melakukan pembiayaan yang berupa dana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
melakukan kegiatan ekonomi baik yang berkaitan dengan kegiatan produksi maupun
kegiatan konsumsi
Didalam system pembiayaan dalam bank syari’ah ada beberapa macam
diantaranya adalah pembiayaan modal kerja yang memiliki beberapa bagian
diantanya
1.pembiayaan
likuiditas(timbal balek) atau sering disebut dengan istilah compensating
balance
2.pembiayaan
piutang
3.pembiayaan
persediaan dan
4.pembiayaan
modal kerja untuk perdagangan
Disamping itu ada juga system pembiayaan investasi yang diberikan
kepada para nasabah untuk berinvestasi yaitu keperluan untuk penambahan modal
guna perluasan usaha dan ada juga pembiayaan konsumtif yang di perlukan oleh
pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Syafi’I Antonio.2001.Bank Syari’ah.Jakarta.Gema Insani
Prof.
Dr.h.Zainuddin Ali.2008.Hukum Perbankan Syari’ah.Jakarta.Sinar Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar